Chapter 8

127 7 1
                                    

Sinar matahari masuk melalui celah-celah jendelaku. Mencoba membangunkan dengan belaian hangatnya. Kicauan burung, alarm bumiku, berbunyi seakan memberitahuku bahwa sang matahari telah datang. Aku menggeliat di kasur. Belum siap untuk memulai aktivitas pagi ini. Alarm handphoneku ikut-ikutan berbunyi. Hari ini tuhan tidak mengizinkanku bermalas-malasan.

Gemericik air terdengar saat aku mulai membuka keran air. Airnya yang sejuk membelai wajahku. Segarnya air bukan main. Mataku langsung terbuka lebar menatap cermin di depanku. Lembutnya handuk mengusir butir-butir air yang masih setia menempel di wajahku.

Aku membuka lemari es dan mengambil satu liter susu dari sana. Hari ini aku sarapan hanya dengan sandwich roti gandum dengan daging bacon dan segelas susu. Dad dan mom baru pulang 3 hari ke depan. Selama mom tidak di rumah, aku hanya makan dengan itu-itu saja. Beginilah jika seorang anak gadis tidak belajar masak pada ibunya. Pada saat ibunya pergi tidak tahu akan memasak apa. Sial.

Aku menyalakan televisi. Early Channel langsung menyuguhkanku berita baru. Tidak baru sih bagiku. Aku sudah tahu.

"Ditemukan tadi pagi seorang mayat gadis perempuan yang kira-kira berumur 17 tahunan tergeletak mengenaskan di dalam rumahnya sendiri. Gadis ini dibunuh dengan sadis oleh seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Polisi saat ini masih sibuk mencari tanda-tanda dari pelaku. Dibantu oleh dokter autopsi, polisi mencoba mencari sidik jari pada barang-barang yang dianggap digunakan oleh pelaku. Polisi tidak bisa menebak apakah pelaku ini seorang atau lebih dari seorang. Sekian berita pagi dari Early News. Selamat pagi dan selamat beraktivitas."

Ooh jadi polisi telah menemukan mayat Casey ya. aku tersenyum melihat berita tadi. Mana mungkin polisi bisa menemukan sidik jari. Toh yang kemarin membunuh dia kan tak kasat mata.

Aku meletakkan mangkuk bekas serealku di tempat cuci dan tak lupa mencucinya. Handuk yang menggantung di depan kamar mandi kuraih. Aku akan menikmati segarnya mandi pagi ini.

Hari ini aku akan berangkat sekolah untuk mengetahui seheboh apakah Casey meninggal. Semua barang aku masukkan ke tas. Tak lupa aku memakai topeng itu agar tidak ada seorang pun yang tahu kalau aku itu Hailee Courtney. Dalam sekejap, aku telah berubah menjadi Mysty Jane.

***

"Anak saya paaak. Anak sayaaa." aku mendengar suara tangis seorang ibu saat aku melewati rumah Casey. Ibu itu terlihat sangat menyesal karena tidak menemani anaknya pada malam ia dibunuh. Polisi berusaha keras menenangkan si ibu, tapi si ibu malah makin histeris.

Aku pura-pura tidak melihat dan melewati jalan lain.

"Mystyy!!" Chloe yang melihatku langsung buru-buru memelukku. Matanya sembab. Sudah ku pastikan bahwa ia juga menangis seperti ibu tadi. "Aku nggak percaya ini terjadi, Jane." ia terseguk-seguk. Aku balas memeluknya "Mungkin tuhan sayang padanya." Chloe melepaskan pelukannya lalu menatapku bingung "Sayang? Yang ada tuhan benci padanya. Mungkin Casey sekarang ada di neraka." Chloe menundukkan kepalanya. Menyesal dengan ucapannya tadi. "Ayolah, kau tidak boleh berbicara seperti itu. Kita doakan supaya Casey berada di sisi-Nya." Dalam hati aku merasa jijik dengan apa yang aku ucapkan tadi. Untuk apa aku mendoakannya? Tidak ada pembunuh yang mendoakan korbannya.

"Padahal sebetulnya aku masih ingin mengobrol dengannya." bohongku dengan wajah pura-pura menyesal atas kematiannya. Chloe memelukku lagi sambil terus menangis. Tapi tak lama aku menjauhkan dirinya dari diriku karena air matanya membasahi kaus mahalku. "Aku akan ke kamar mandi." Chloe pergi meninggalkanku sendirian di lapangan. "Ya. Pergilah."

Koridor sekolahku terlihat sepi. Aku terus berjalan sepanjang koridor untuk mengetahui dimana semua orang. Terdengar suara seorang bapa dari kapel. Aku mendekatkan telingaku ke pintu kapel. Mereka sedang berdoa rupanya. Aku menarik sebuah kursi kecil agar aku bisa mengintip. Dan benar saja mereka sedang mendoakan Casey.

Memangnya seagung apa sih dia sampai didoakan segala. Sudah jelas kalau Casey itu bukan orang baik.

"Sedang apa kau?" tanya seseorang. Aku melihat ke bawah. Rupanya itu Zac. "Tidak ikut masuk ke kapel?" tanyanya lagi. "Untuk apa?" aku turun dari kursiku.

"Untuk mendoakan Casey"

"Aku tahu itu tapi bukan itu maksudku. Maksudku, untuk apa mendoakan seseorang yang sudah biadab terhadapku." aku tersenyum kecut. Zac tertawa. "Apanya yang lucu? Lalu, kenapa kau sendiri tidak masuk kesana?"

Zac tersenyum lalu menyilangkan tangannya di depan dadanya "Malas" katanya singkat.

"Kenapa? Kau kan akan dapat pahala."

"Aku tahu." Zac tiba-tiba menarikku pergi dari halaman kapel. Dengan terpaksa aku mengikutinya. "Mau kemana, hey?" aku mencoba menyentakkan tanganku tapi genggamannya lebih kuat.

Aku melihat tulisan di papan kayu di atas, ruang musik, untuk apa ia mengajakku kesini? Zac dan aku masuk ke ruang itu. Aku memencet tuts piano beberapa kali sampai akhirnya berhenti karena perintah dari Zac. "Shut up! Jangan membuat suara berisik apapun."

Zac menarik badanku dan menjatuhkannya di kursi empuk yang letaknya tak jauh dari piano. Matanya menatapku tajam. Aku mengalihkan pandanganku karena tidak mau menatap matanya. Zac menjatuhkan tubuhnya di kursi itu juga, tepat di sampingku. Tangannya menarik daguku, wajahku didekatkan dengan wajahnya. Kini jarak wajahku dengan wajahnya hanya tinggal kira-kira 5cm. Bisa kurasakan nafasnya yang hangat. Aku mendorong wajahnya mencoba menjauhkannya dari wajahku. Ia kaget.

"Mau apa sebenarnya kau mengajakku kesini?" bentakku kesal. "Just want to tell you why i don't attend that" bisiknya. Aku menatapnya tidak percaya. Zac tersenyum "Just relax" ia mengajakku duduk di kursi yang tadi aku duduki.

Zac menarik nafas dalam-dalam. "Can i start now?" aku mengangguk.

"Jadi begini..."

MetamorphsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang