Twelve

5.1K 383 0
                                    

"Ini baru jam satu siang, Vid," tegur Kris, "Kau kenapa harus buru-buru sekali kemari sih?"

Jadwal penerbangan David adalah pukul tiga sore lewat dua puluh menit. Sementara, saat ini masih jam 12.50, itu bearti masih dua lebih dari waktu keberangkatan.

"Ini karena aku takut terlambat, Kris!!"

Kris mengeluh kesal. "Hei, rumahmu dan Bandara itu hanya sejengkal, David! Kau harusnya tahu kalau dari rumahmu, kau hanya tinggal masuk tol bandara dan beres. Kau bisa sampai kesini dalam hitungan menit!!!"

"Kan aku sudah bilang, aku takut terlambat..."

Akhirnya, Kris menyerah. Kalau saja dia tidak mengingat Carlos, Alex, Tatsuya, dan Leo sedang bekerja di jam-jam seperti ini, pasti Kris sudah meninggalkan lelaki berperawakan aneh, seperti David. Menggunanaka kupluk, hoodie biru dan juga jins panjang. Ah, jangan lupakan kacamata hitamnya juga.

"Kau seperti orang-orangan villa tahu," gerutu Kris. 

David malah tertawa. Mereka berdua sedang duduk di sebuah restoran cepat saji, terminal 2B, sambil menunggu jadwal keberangkatan David yang masih terlalu lama itu. Tevin datang tak lama kemudian, sambil memegang dua buah frappe di tangan kanannya, dan sebuah vanilla latte favoritnya di tangan kirinya.

"Ini pesanan kalian berdua!" serunya, "Aku harus sampai terminal 2E untuk mendapatkannya. Kalian berdua menyusahkan sekali!"

Tevin mau tak mau menemani Kris untuk menemani bosnya itu disini. Astaga, seandainya saja Tevin bisa memiliki pilihan lain, dia sebenarnya malas sekali untuk menunggu disini. "Ayolah, kalian tersenyum, jangan ngambek seperti itu... Pesanlah apapun yang kalian mau, oke?" 

"Yang kami mau pulang, Pak," dengus Tevin kesal, "Ini harusnya hariku dan Selvin untuk main ke mangrove. Tapi, aku merelakannya karena mengingat kau adalah bosku, Vid." 

David tersenyum. 

Jam-jam membosankan mereka itu pun digunakan untuk makan, nyemil, dan minum frappe ataupun latte sepuasnya. Sampai akhirnya, David baru menyadari dia harus melatih kalimat yang sudah disusunnya itu untuk disampaikan pada Tyas. "Kalian mau melihat apa yang aku sudah siapkan untuk aku katakan kepada Tyas nanti, tidak?" 

Kris dan Tevin sebenarnya tidak mau-mau amat. Tapi, daripada mematahkan semangat David? 

Akhirnya, mereka pun melihatnya. 

Tyas, aku memang salah untuk apa yang aku katakan kepadamu tempo hari. Aku mabuk, dan kehilangan kesadaranku. Tapi aku begitu karena aku mencintaimu! Aku ingin kau selalu ada untukku, dan kau selalu bersedia untuk membangunkanku dengan senyuman-senyumanmu, mendengar tawa renyahmu sepanjang sisa hidupku. Jadi, kumohon, jangan tinggalkan aku disini sendirian, dan pergi ke Spanyol. Aku... selalu mencintaimu Tyas. Selalu. 

"Ah, bodoh! Perkataanmu itu terlalu... menjijikan!" protes Kris, "Ini bukanlah plot romantis yang akan aku tonton dalam serial drama maupun film romantis jenis apapun." 

"Setuju." 

David menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Lalu kalimat seperti apa yang harus katakan kepadanya?" 

Kris berpikir sejenak, tapi Tevin lebih dahulu menjetikkan jarinya. 

"Aku tahu!" seru Tevin, lalu menyuruh untuk David mendekat, dan mendengarkannya. "Menurutku kau seharusnya..." 

-----

Pukul 14.20. 

Para penumpang sudah dipersilakan untuk masuk ke dalam pesawatnya, walaupun jam penerbangan masih satu jam lagi. David pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk masuk ke dalam pesawat dengan cepat. Ah, dia hampir melupakan visa, passport dan tiket pesawatnya saat akan masuk ke boarding room. Mungkin gugup, mungkin juga karena pikirannya kacau setelah di nasehati oleh Kris dan Tevin. 

Mr. Laugh and The Airplane GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang