Part 2 : All about passion?

Start from the beginning
                                    

"Brengsek, Lang!" Maki Melody geram. "Aku bukan bocah, sialan!"

Langit tertawa. Tak menghiraukan sarkasme wanita itu. Pria yang beberapa bulan lalu baru saja berusia dua puluh tujuh tahun tersebut, segera bergerak kebelakang tubuh Melody dan dengan gerakan tak terduga langsung menyelimuti bahu telanjang itu dengan jasnya yang cukup mahal.

"Bener, kamu mungkin bukan bocah, Mel. Tapi percaya deh dengan pakaian kaya  gitu kamu nggak ubahnya kaya  balita lima tahun."

Melody masih melotot saat Langit melebarkan seringai di wajah angkuhnya yang jujur saja memang sudah tampan semenjak dulu. Dan tanpa membiarkannya menyebutkan beberapa umpatan kasar untuk mengomentari perkataan pria itu barusan, Langit sudah kembali menyeretnya untuk masuk kedalam mobil.

"Sialan, Lang! Aku janji, kamu akan ngebayar semuanya nanti!"

Langit tertawa menanggapinya. "Aku tunggu, Mel." Kekehnya ringan. "Dan tolong masuk ke dalam. Terus pakai sabuk pengaman dan diam aja sampai aku mengantarmu pulang."

Melody melotot jengah. "Aku bukan putrimu yang bisa kamu atur seenaknya, Lang."

Kembali mengumbar tawa menyebalkannya, Langit memiringkan kepala guna membalas tatapan sengit Melody. "Percayalah Mel, jika aku  ayahmu maka aku nggak akan pernah ngebiarin kamu keluar dari rumah pakai pakaian kaya gitu."

Ia melirik sinis gaun kurang bahan yang melekat di tubuh wanita itu. Walau gaun berwarna hitam perpaduan antara lace dan chiffon dengan detail V neck super rendah pada bagian dadanya, cukup membuat Melody tampak sangat elegan dan manis di antara para kerumunan wanita yang berada di tempat terlaknat tadi. Namun tetap saja, matanya tiba-tiba merasa risih melihat Melody berpakaian serba terbuka seperti itu.

Padahal sudah semenjak dulu ia kerap kali mendapati wanita itu berpakaian tak jauh berbeda dengan malam ini.

Ck, Langit tahu ada yang salah dengan otaknya malam ini.

"Ada yang aneh sama kamu, Lang." Melody mengomel setelah dengan terpaksa harus menuruti permintaan Langit. Masuk kedalam mobil pria itu dan mengenakan sabuk pengamannya. "Aku mikir, pasti ada Alien yang lagi sabotase otak dangkalmu itu."

Langit tak menggubrisnya.

Dan hal itu justru membuat Melody senang dan kembali membuka suara. "Kapan jadwal kosong? Coba datang ketempatku biar aku bisa ngebuka tempurung kepalamu, terus ngebersihin dalamnya."

Mengulum senyum kecil, Langit menyeringai mendengar ocehan Melody. "Berhenti berceloteh Mel, sungguh kamu ngebuat aku bergairah."

Dan Melody tak jadi mengatakan apa-apa. Jadi ia cuma mampu melempar tasnya kearah pria itu. Dan sialannya, Langit malah meledakkan tawanya dengan puas.

***

"Cepat bilang apa urusannya, aku mau tidur."

Kata Melody seraya melemparkan minuman kaleng kepada Langit yang duduk nyaman di atas sofa ruang tamu di dalam apartmentnya.

Langit menghela nafas, betapa Melody tak pernah bersahabat dengan kesabaran, Langit mulai merutukinya dalam hati mengenai kegilaannya untuk bersekutu dengan Melody.

"Duduklah Mel, jangan sungkan gitu." Ucapnya santai. "Kita perlu ngebicarain ini dengan serius. Dan saat ini aku butuh kamu duduk." Tambahnya sembari membuka minuman kaleng yang mendarat tak mulus di atas meja tersebut.

"Aku lagi muak sama basa-basi. Jadi bisa nggak langsung aja." Enggan menuruti pria itu lebih lanjut, Melody bersidekap di atas dada.

"Oke-oke," ia mengalah. "Baik, dengarin aku." Langit meletakkan lagi minumannya di atas meja.

A Million TasteWhere stories live. Discover now