Dalam pelukan hangat yang mulai terasa asing itu, Melody mengangguk dengan rinai hujan dari matanya yang redup. Mencengkram erat tuxedo hitam milik prianya—setidaknya dulu. "Aku pernah berharap menggenggam angin. Tetapi Tuhan menyadarkanku bahwa hanya kehampaan yang akan selalu kudapatkan."

Mata Panji terbuka kala ia merasakan ada yang menarik paksa tangannya yang tengah nyaman melingkupi tubuh perempuan mungilnya. Tersentak kaget saat yang terlihat disana adalah kedua orang tua yang menatapnya marah.

"Cukup kalian berdua!!"

Suara mengeram dari belakang menyentak kesadaran Melody. Ia terkesiap saat tangan lain memaksanya keluar dari pelukan Panji. Melody mengerang saat mengenali wanita tua yang sudah ia putuskan adalah manusia yang patut di bencinya.

"Pergi dari sini!!"

Ia menyentak Melody menjauh. Matanya masih melotot. Dan Melody mengingatkan dirinya sendiri, bahwa sosok tersebut tak lebih dari Troll kejam yang membelah jembatannya.

"Mama!" Panji memanggil wanita tersebut dengan peringatan keras.

Wanita bersanggul anggun itu tak menggubris. Ia mengambil tiga langkah kedepan dengan sorot mata hanya tertuju pada Melody.

"Berhenti bermain dengan harapan, nona. Karena Tuhan tak mungkin mengabulkan doa ketika Tuhan tahu janji suci atas namaNya telah terucap."

Dan Melody seratus persen meyakini apa yang di katakan orang tua itu adalah kebenaran.

***

"Jadi kamu siap bertemu orang tua ku?"

Suara itu mengalun merdu. Berbalut ketidak percayaan namun sungguh memperdengarkan semangat yang menggebu. Juga senyum manis kala sang wanita tersebut menyambungnya dengan cerukan indah di sudut bibirnya.

Terdengar kekehan kecil dari pria yang ada di depannya, sebelum pria itu mengangguk dan meraih kedua telapak tangan sang wanita yang menganggur di atas meja.  "Tentu Jihan," ada jeda yang anehnya tetap menggembirakan saat pria itu turut memulas senyuman. "Sejak pertama kita berhubungan, bukankah kita sepakat untuk serius?" Jihan mengangguk membenarkan. "Dan sekarang, aku rasa tabunganku sudah cukup untuk menyicil satu persatu mimpi kita."

"Demi Tuhan, Ren. Terima kasih!" Jihan tak lagi bisa menutupi kebahagiaannya. "Terima kasih karena kamu tetap pegang teguh janji-janji kita dulu." Sekali lagi wanita itu memekik saking senangnya.

Sementara Rendy dan Jihan sibuk dengan obrolan yang berbaur dengan tawa dan aura pink menyengat yang memabukkan. Langit juga sibuk menertawakan dirinya sendiri.

Ia memejamkan matanya, meresapi tiap alunan suara yang memasuki telinganya. Kemudian memilah mana suara yang paling ingin ia dengar. Dan suara itu terdengar paling menonjol dari suara bising lain yang menggema di seluruh penjuru café di waktu senja ini.

Pria berdasi itu terkekeh pelan, tawa miris yang ia persembahkan untuk dirinya sendiri. Untuk hidupnya, juga kepengecutannya. Dan setelah merasa bosan mendengar tawa yang terus menderu gendang telinganya, Langit memutuskan melempar beberapa lembar uang kertas keatas mejanya guna membayar secangkir kopi pahit yang sedari tadi menemaninya menjadi penguntit.

Heum, menguntit sekertarisnya sendiri.

Dan bagian yang paling konyolnya adalah Langit tetap jatuh cinta pada Jihan—sang sekertaris—padahal sudah mengetahui bahwa wanita itu tengah memiliki kekasih. Sebab awalnya Langit hanya berpikir, mungkin Jihan hanya belum pernah melihat pria tampan yang cukup mapan, hingga menjunjung tinggi kesetiaan pada seorang montir bengkel yang katanya telah di pacarinya semenjak mereka lulus Kuliah.

Konyol'kan? Saat Jihan sama sekali tak terlihat tertarik pada Langit. Dan yang paling menyebalkannya, sekertaris cerdasnya itu ternyata tak cukup pintar untuk membaca sinyal-sinyal yang secara terang-terangan ia tunjukkan demi menarik perhatian wanita tersebut.

Cih, ternyata cintanya pada si montir itu sudah membuat Jihan menjadi dungu.

Hah, cinta ya...

Sebuah kata yang terdiri tak lebih dari lima huruf tak berharga. Hanya satu kata saja, namun benar sekali, kata sialan itu selalu mampu menjungkir balikan hidup banyak orang.

Mencibir apa itu yang di sebut cinta, Langit bangkit dari kursinya. Meninggalkan gelak tawa dari sekertarisnya di kantor dan kekasihnya. Langit melangkah membelah malam. Yah, ia perlu menyapa beberapa bintang sebelum setelah ini tenggelam dengan gemerlapnya dunia malam.

Memutar stir kemudinya, Langit memacu kuda besi hitam mengkilapnya dengan kecepatan tinggi. Ia harus segera menenggak beberapa gelas minuman, ia perlu mengubur keinginannya untuk menghajar kekasih Jihan tadi. Wanita yang diam-dam ia sukai.

"Ck, brengsek!" Makinya untuk menghalau telinganya yang lagi-lagi terngiang tawa bahagia mereka.

Ponsel Langit berbunyi. Tapi ia sedang tak ingin berbicara denagn siapapun. Namun ia tahu teman brengseknya ini akan terus menghubunginya hingga baterai ponselnya habis. Memaki pelan, Langit meraih ponsel hitam itu sebelum menempelkannya ketelinga.

"Berhenti menggangguku, sialan!"

Bukannya marah karena barusan mendapat makian. Si penelpon justru tertawa kencang selama sambungannya masih terhubung.

"Jadi bagaimana hasilnya?" Kekehan masih saja terdengar. Dan Langit tak lagi bisa mengelak dengan temannya yang satu ini.

Menghela nafas, Langit menurunkan kecepatannya. "Sudah berakhir. Sudah selesai." Jawabnya tak bersemangat.

Arya masih tertawa di ujung teleponnya. "Selama setahun Jihan jadi sekertarismu tetapi dia hebat karena benar-benar tidak menoleh sedikit pun untuk melihatmu lebih dari lima menit. Jihan luar biasa."

"Hah, dia memang tidak pernah menoleh pada siapapun karena montir bengkel itu."

Sarkasme Langit di mulai. Ia benci mengakuinya tetapi ia tak bisa menahan diri untuk tak memaki pilihan dari sekertarisnya tersebut. Pria berkulit hitam yang setiap hari tangannya harus berlumur oli.

"Setidaknya montir bengkel itu berani mengungkapkan perasaannya, Lang." Arya mengungkapkan kebenaran. "Zaman sekarang wanita tidak mengerti kode morse yang kita berikan. Karena perempuan sekarang sudah tidak tertarik dengan tenda dan pramuka. Mereka realistis dengan memilih apartment beserta kode kunci masuknya." Tawa Arya kembali terdengar.

Langit mengumpat temannya itu dengan berbagai umpatan cabul yang mampu membuat para pelacur meringis jika mendengarnya. Tetapi sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tipis. Arya selalu mampu mengubah suasana hati seseorang dengan obrolan konyolnya yang menyebalkan. "Baiklah mulut besar, hubungi anak-anak. Aku menunggu di tempat biasa."

"Tentu pria patah hati. Kami akan datang untuk menghiburmu."

"Sialan!"

***


A Million TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang