"Kakak suka saus Tomat?" ia menganggukkan kepalanya sambil memakan Nasi dan Ayam Goreng yang ada di atas piringnya. Aku nampak bodoh saat ini. Kami sudah menikah. Kami sepasang Suami-Istri tapi sedikitpun tentangnya tidak ku tahu.

"Kamu kenapa?" ia bertanya balik kepadaku. Ku jawab dengan gelengan kepalaku.

"Tidak ada apa-apa."

"Jangan membohongiku."

"Baiklah. Aku akan berkata jujur. Kakak sudah menjadi Suamiku. Tapi tidak satu pun aku tahu mengenai Kakak!"

"Hanya waktu yang bisa memberitahumu. Apakah aku harus memberitahumu sekarang?" ia nampak khawatir. Wajahnya mendadak muram sambil sesekali ia memutar matanya.

"Tentu. Aku akan belajar untuk mengetahuinya. Aku bisa bertanya pada Mama, Papa, Kak Alena atau Kak Aaron."

"Bagus. Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Duduklah. Ayo makan bersama. Ini Susumu." ia mengulurkan tangannya memberikan segelas Susu untukku.

"Susu apa ini?" ku putar gelas susu itu dan melihat lalu memastikan susu apakah yang Suamiku berikan padaku.

"Susu Ibu hamil." ia menjawab dengan senyuman indahnya.

Ya Tuhan, beberapa bulan ini aku tak memikirkan sama sekali tentang sebuah susu. Jangankan memikirkan susu untuk kebutuhan janinku, memikirkan kesehatanku saja aku nyaris melupakannya jika Tania tidak mengingatkanku.

"Kenapa? Kamu tidak suka yang Vanila?"

"Ah tidak. Aku suka. Terima kasih Kak. Kakak baik sekali padaku."

"Jangan sungkan mengatakan sesuatu hal yang kamu inginkan dan tidak kamu sukai. Aku bisa mengaturnya. Seperti rumah ini. Apa kamu menyukainya? Jika tidak kita bisa pindah." ujarnya kepadaku.

"Memangnya Kakak memiliki rumah lain?" pandanganku beredar ke seluruh ruangan rumah ini. Cukup luas untuk membangun sebuah keluarga. Rumah ini bernuansa putih di semua ruangannya. Bahkan kamar yang ku tempati tadi juga bernuansa putih.

"Ada. Satu di dekat Pantai. Satu di tengah Kota. Satu di dataran tinggi."

"Lalu yang ini dimana?"

"Di dekat pantai." jawabnya santai. Aku mendengar ada suara ombak yang terdengar di telingaku. Benar ternyata memang dekat dengan Pantai. Mataku melirik piring miliknya dan ternyata makanannya sudah habis. Wah dia cepat sekali.

"Tania mengatakan padaku jika kamu suka ke Pantai. Dan aku juga pernah menemukanmu mengeluarkan semua kesakitanmu di Pantai. Aku berpikir kamu suka dengan Pantai. Jadi aku bawa kesini?"

Aku hanya mengangguk pelan. Dia memang benar. Aku suka Pantai. Suara gelombang air memang sangat menenangkan untukku. Analisanya memang hebat. Aku menyukai cara kerja otaknya.

"Maaf. Lalu semalam aku tidur di mobil bukan? Kakak yang menggendongku ke Kamar? Jadi... kita sudah tidur satu ranjang?" ku gigit bibir bawahku karena ketakutan yang melanda diriku. Tapi ia justru tertawa terbahak-bahak. Ah baru kali ini aku bisa melihat bos se cool dirinya tertawa seperti itu.

"Memang benar aku yang membawamu ke kamar. Tapi tidak dengan tidur bersama. Di rumah ini banyak sekali kamar. Ada 8 totalnya. Aku tidur di kamar itu." ia menunjuk sebuah kamar tepat di samping sebuah kamar yang semalam menjadi tempat ku untuk tidur.

"Sesuai janjiku, aku tidak akan menyentuhmu diluar yang tidak semestinya. Aku tahu kamu bukan milikku. Kamu, hatimu, dan cintamu. Aku sadar semua itu."

Kalimat terakhirnya membuat dadaku sakit. Ia seperti menusuk sebilah Pedang ke arah dadaku. Dengan jelas ia menggaris bawahi kalimat-kalimatnya. Seperti seakan ada tembok yang membatasi rumah tangga kami ke depannya.

Not My Fault (Complete)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें