12

1.1K 68 1
                                    

"dijalan gini ada violist gitu ya?"  nada Dev seperti bertanya "keren juga" tambahnya lagi.

"kak Ken juga harus bisa main biola, nanti dinda ajarin lagi" kata dinda setelah pulang dari les musik.

Dinda hanya beda 2 tahun dengan Ken, apalagi dengan kecerdasannya, saat Ken masuk SD Dinda juga sudah bisa masuk SD, bahkan Rankingnya jauh diatas Ken.

"ma kata kak key Dinda udah lancar main biolanya, terus Dinda juga udah boleh tampil buat pagelaran bulan depan" jelas Dinda dengan bangga kepada ibunya.

"pintar sekali anak mama"  katanya sambil mengecup puncak kepala Dinda.
Ken hanya melihat dengan gembira karena adiknya sudah sangat pandai bermain biola, tapi Ken tidak suka karena hanya Dinda yang dipuji. Walaupun tak ada yang bisa dipuji dari diri Ken. Dia tidak berbakat dibidang seni, menari? Tidak menyanyi? Ken sulit mengafal lirik lagu. musik? Seperti kali ini Ken belum bisa sedangkan adiknya sudah siap untuk tampil pagelaran bulan depan. Tak kalah buruknya nilai akademik Ken selalu jelek bahkan pernah hampir tinggal kelas.
Berbanding terbalik dengan Dinda. Bisa dibalikan sendiri.
Dinda terlalu sempurna, bahkan Ken tak ada apa-apa nya.

"Ken? Lo masih disini? " tanya Dev menyelidik.
Ken hanya nyengir kuda." main biola susah lo" kata Ken kali ini.

===chocolate===

"pergi kamu 'pembunuh'!" kata perempuan berbaju berwarna hijau terang tersebut.

Lalu ia tertawa.

Sedetik kemudian dia kembali berteriak dan melemparkan apapun didekatnya.

"Pergi kamu!!" ucapnya lagi.

Ken hanya melihat pilu, ibunya kini dirawat dirumah sakit. Dengan badan sangat kurus. Ken sudah sangat lama tidak kesini. Bukan tanpa alasan, tapi reaksi Anggi—ibu Ken– memang selalu begitu. Tapi Ken selalu tahu perkembangan ibunya.

"Dia siapa Ken?" tanya Dev waswas.
"Dia mama gue Dev" jawabnya datar tanpa menoleh sedikitpun.

Ken menoleh tak percaya.

"Dia gila Dev" jawab Ken lagi, seakan bisa membaca pikiran Dev.

"Delapan tahun yang lalu" jedanya "adik gue meninggal, salah gue"

"maksud lo? "tanya Dev tak mengerti.

" gue hujan - hujanan baren Dinda" Ken mencoba menyeka air matanya. "seharusnya gue yang ditabrak, bukan Dinda"

Dinda. Sekarang Dev mengerti.

"itu bukan salah lo Ken " jedanya, menatap Ken agar dia menoleh dan menatap matanya." itu tandanya tuhan sayang sama dia"

Krek. Kata kata itu lagi, dan Dev adalah yang ketiga.

Hidup ini tidak seperti novel, yang kita bisa mengulang halaman pertama kapan pun kita mau.
Dalam kehidupan nyata, saat sebuah kisah tak lagi asyik, mulai menyakitkan, kita tidak bisa mengulanginya dari halaman pertama lagi.
Tapi tidak mengapa, karena kita selalu bisa membuat bab baru, halaman baru, selalu bisa.

"ada yang perlu lo tau"
"apa?"
"lo orang pertama yang mengetahui ini, dan gue gak tau kenapa" katanya masih terdengar serak, seperti menahan air mata.

Dev menatap Ken dalam, dia tau sebenarnya Ken rapuh, harusnya dia mengetahui ini dari dulu. Dan Daffa. Daffa lo kemana aja selama ini.

"Daffa? "
Ken hanya menggeleng. Seakan mengerti Dev memutuskan untuk tidak lagi bertanya. Dia takut.

Deg.

Ken menyenderkan kepalanya ke dada Dev, dibalas rangkulan Dev.

Keduanya merasakan jantungnya berhenti berdetak bahkan seperti meloncat loncat ke kepala. Sungguh waktu yang tidak tepat.

Keduanya terdiam.

Tidak ada air mat yang keluar dari mata Ken.

Karena kenanganlah yang membuat tangis itu tidak tumpah. Karena kenangan itulah yang membuat seseorang tak melupakan. Kenangan ada. Saat takdir tak lagi berpihak.

====chocolate====

Don't forget for vote and comment ya.
Love you
Sorry typo nya banyak banget ya

ChocolateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang