Ia kemudian berdiri dari tempat duduknya, sebaiknya pertemuan itu cepat-cepat mereka akhiri.

"Fay, apapun yang kau pikirkan tentang keluarga kita, semua itu tidak benar. Kami semua sangat menyayangimu."

"Kenapa kau mengatakan semua itu?"

"Karena Ivar mengajarkanku untuk memaafkan." Fabian menatap adiknya lembut. "Aku pergi. Selamat untuk pembukaan butikmu."

Fay tidak mengubris kepergian kakaknya, matanya tertuju pada kursi sofa kosong bekas tempat duduk sang kakak. Sudah jelas ucapan akhir kakaknya membuat rasa tersendiri dihatinya, kepedihan

"Fay, cinta itu memang penting, Nak. Tapi, cinta tidak akan ada artinya ketika kata maaf tidak pernah tertanam di hati semua orang. Walaupun sulit, namun itu yang seharusnya terjadi."

Tubuh Fay tiba-tiba melorot ke lantai, kedua kakinya terasa lemas. Dadanya terasa begitu sesak dan perih. Ia sadar ucapan Fabian benar-benar menghantam dirinya. Namun, ia tidak ingin menjadi orang yang pemaaf, sedikit pun ia tidak mau. Menjadi pemaaf artinya menjadi sosok yang lemah, menjadi sosok yang tersakiti. Ia tidak ingin menjadi seperti itu!!

Air mata Fay mulai mengalir, "Ibu....aku tidak ingin menjadi pemaaf. Aku harus membencinya...aku harus."

***********

"Kau baik-baik saja, Fay?" tanya Lily, memandang Fay yang menyiram bunga-bunga taman belakang, tatapannya terlihat kosong. Bahkan wanita itu masih menyiram bagian bunga yang sama sejak 5 menit yang lalu,

"Oh...tentu saja Bibi," jawabnya sedikit terkejut.

"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Lily berjalan mendekat. "Akhir-akhir ini kau sering melamun." Ia mengusam pundak Fay lembut.

Fay tersenyum, sebagain tanda kalau ia baik-baik saja. Bohong....namun ia tidak ingin Bibi Lily masuk dalam setiap masalahnya. Wanita paruh baya itu tidak perlu merasakan apa-apa.

Lily sendiri bukanlah orang yang gampang Fay bohongi. Mungkin Fay sudah lupa kalau selama ini beliau lah yang membesarkannya. Jadi, sebagaian ekspresi dari wajah Fay pasti bisa ia ketahui. Ia hanya harus menunggu, suatu hari anak asuhnya itu akan menceritakan semua kegundahan hatinya padanya, itu pasti akan terjadi.

"Mommy!!!" teriak Clara dari pintu dapur.

Fay dan Lily saling menatap bingung, si gadis mungil itu tidak pernah bangun tidur sepagi itu.

"Mommy, come here!!!"teriakan Clara semakin kerasa ketika panggilan awalnya tak digubris.

"Baiklah...baiklah." Fay menyerahkan selang air pada Bibi Lily, lalu berjalan menemui putrinya yang masih bertengger di depan pintu.

"I need your help," ujar Clara ketiaka sang ibu sudah berada di depannya.

"Oke...tapi sebelumnya kita masuk dulu. Udara sudah mulai dingin dan bajumu sangat tipis."

Clara langsung mendahului ibunya masuk ke dalam ruangan. Kemudian berlari menuju pantry dan menarik salah satu kursi di sana. Fay yang menyusul kemudian tambah merasa bingung dengan kelakuan baru purinya. Beberapa paper bag sudah terletak di atas meja, entah apa isinya.

"What is that?" Fay mulai membuka paper bag dan mengeluarkan isinya satu per satu dari dalam sana. Alhasil tepung terigu, coklat bubuk, gula, mentega, telur, dan bahan-bahan lainnya sudah tertata di atas meja. "So....?" tanyanya meminta penjelasan lebih.

"Mom...ini tugas sekolahku," jawab Clara enteng.

"Gurumu menyuruhmu memasak?" tanya Fay lagi dengan mata melotot.

PAIN ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang