Sepuluh

13.2K 1.1K 18
                                    

Pikiran Fay semakin bercabang, sejauh ini ia belum melakukan apapun untuk rencana 'pergi'-nya. Semuanya berjalan begitu normal, seakan-akan tetap tinggal adalah sesuatu yang menghangatkan. Sudah Jelas itu bukan tujuannya...bahkan tujuan terbesarnya belum terlihat hasilnya, Clara belum juga berpihak kepadanya seutuhnya, ia masih tetap menjadi nomor 2, di pikiran bahkan di hati putrinya.

"Mrs. Fay, someone looking for you?"

Lamunan Fay terusik akan suara salah satu karyawan butiknya. Namun, tatapannya masih saja fokus ke depan kaca besar lantai dua butiknya. "Siapa?"

"Aku," suara berat akhirnya terdengar dari ujung tangga.

Fay mendengus, ia tahu yang datang adalah saudara laki-lakinya, Fabian.

Suara langkah kaki kembali terdengar mengitari ruangan.

"Butikmu keren juga. Aku bisa tahu berapa juta dolar uang Ivar yang kau habiskan," ujar Fabian yang sudah terlihat berdiri di balkon. Kemudian, ia berjalan masuk kembali, langsung memosisikan dirinya di sofa, memandangi punggung adiknya.

"Sebaiknya kau pergi jika hanya ingin membuatku jengkel," respon Fay.

Fabian tertawa sarkastis, "Kapan terakhir kau berkata manis padaku? Aku tetap saja kakak tertuamu, seharusnya kau bersikap manis."

"Cihh....Aku juga masih adik kandungmu, seharusnya kau lebih memilihku dibanding apapun di dunia ini," balas Fay, tak kalah sarkastis.

Fabian menyandarkan belakangnya ke sandaran sofa mencoba menyamankan dirinya."Fay...selama ini aku tidak membencimu. Hanya saja aku tak bisa terima kelakuanmu belakangan ini."

"Terima kasih, tapi aku tidak membutuhkan kata-kata palsumu itu. Sebaiknya kau pulang," usir Fay. Pandangannya masih tertuju pada jendela di depannya.

"Tidak bisa, kah, kita berbincang seperti saudara yang saling menyayangi. Saling bertanya kabar, apa yang sedang kita kerjakan saat ini, atau saling berbagi cerita."

Kata-kata Fabian berhasil membuat Fay menatapnya dengan sinis, di bibirnya, tergulum senyum yang tak kalah sinisnya, lebih kepada mencomooh.

"Kau terdengar seperti saudara yang manis. Apa salah satu keluarga pasien sudah memukul kepalamu? Atau kau sedang mabuk? Yang aku tahu seorang Fabian sangat membenciku dan kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah sebuah hinaan."

"Aku sudah katakan, kalau.aku.tidak.membencimu." Terdengar penekanan di setiap kata-kata Fabian.

"Alright...you dont hate me. Lalu...kau datang ke sini untuk meminta maaf?"

"Fay....aku hanya mencoba menerima dirimu yang sekarang. Aku sadar sikapku yang keras itu bisa membuatmu semakin melawan. Aku juga ingin kau mencoba untuk membuka lagi kelembutanmu dan melupakan semua kebencianmu."

Fay tertawa hambar, "Apa ini karena Ivar? Kau berbuat ini untuk dia lagi, bukan? Bullshit....pergilah. Aku akan berhenti sampai Ivar menderita."

"Fay!!!" pekik Fabian akhirnya. Emosinya menjadi tak terkontrol lagi.

"Lihatlah dirimu, Fabian." Fay tertawa lepas. "Dasar bodoh....ini yang kau katakan pembicaran manis? Mencoba menerima diriku?" ujarnya sarkastis.

"Kau tidak tahu bagaimana menderitanya Ivar karena ulahmu. Sudah bertahun-tahun semenjak kejadian itu, kau tidak pernah tahu berapa banyak kepedihan yang ia tanggung. Ibu pasti____"

"Stop it!!!!" teriak Fay, dadanya naik turun karena emosi. "Just go away." Ia mencoba memelankan suaranya.

Fabian menutup matanya sejenak, mencoba menahan emosinya yang lagi-lagi terpancing. Bersama Fay memang selalu membuatnya seperti ini, sudah jelas itu tidak akan menyelesaikan semuanya. Yang ada ia dan adiknya akan saling berteriak satu sama lain. Tidak masalah bila itu terjadi di rumah mereka, kenyataanya mereka sedang berada di butik Fay, sudah pasti teriakan mereka akan di dengar para karyawan bahkan pelanggan.

PAIN ✔Where stories live. Discover now