Secepat Itu Berubah (Bagian 2)

14.4K 733 11
                                    

Setelah menguatkan hati, aku pun kembali ke kelas. Rasa sakit masih menghinggapi hatiku, namun ku katakan sekali lagi, aku harus berhenti menyukai Revan. Lagi-lagi aku harus melewati kelas Revan dan ia masih ada di depan XI IPA 2, kelasnya. 

Aku terus berkata dalam hati bahwa aku harus melupakannya dan berhentilah berharap bahwa Revan akan menyapaku. Tolong hati, kali ini sajalah kamu bekerja sama dengan otak. Tolong jangan buat aku berharap lagi. Semakin dekat langkahku menuju depan kelas Revan, semakin dekat, dan semakin dekat. 

Dan saat aku melewatinya, aku melirik. Ia tidak melihatku, apalagi menyapaku. Dan untuk kesekian kalinya, aku merasakan sakit itu. Sungguh sakit. Karena dalam hatiku yang terkecil, aku mengharapkan Revan menyapaku. Tetapi itu hanyalah sebuah harapan.

Aku terus berkata bahwa aku kuat. Aku pasti bisa menghilangkan perasaanku padanya. Dengan langkah yang sangat pelan, aku berjalan ke kelas. Sesampainya di sana, aku langsung duduk dan menenggelamkan kepalaku pada lipatan tangan. Sungguh, aku ingin menangis lagi. Dan tepat saat itu, bel masuk pun berbunyi. 

Aku hanya ingin menceritakan sakitku ini pada Alya, tapi aku harus menahannya hingga bel istirahat berbunyi. Kita memang tidak satu kelas. Jam pertama adalah pelajaran fisika, salah satu pelajaran kesukaanku. Tapi karena sakit yang tak kunjung hilang ini, membuatku tidak fokus pada pelajaran. 

Dan lagi-lagi, satu bulir air mata terjun bebas dari mataku. Oh tidak, aku menangis lagi. Dengan kasar, aku menghapusnya. Aku harus kuat, Revan bukanlah siapa-siapa yang harus membuat konsentrasiku pecah. Revan bukan siapa-siapa, bukan.

"Renaya? Ada apa? Sepertinya kamu tidak fokus pada pelajaran saya," tanya Bu Linda tiba-tiba. Dan hal itu membuat semua mata menuju padaku. Aku yang ditatap seperti itu langsung gelagapan, "Ma-maaf bu, saya cuma agak gak enak badan saja," ucapku penuh rasa bersalah. 

"Kamu mau ke UKS nak? Tidak apa-apa," kata Bu Linda yang menatapku dengan wajah khawatir. "Tidak apa-apa bu, saya masih ingin mengikuti pelajaran ibu," ucapku sambil tersenyum. Dan setelah itu, pelajaran dimulai kembali. Mataku memang melihat papan, tetapi pikiranku tidak berfokus di situ. Pikiranku masih berlabuh pada Revan. Dia memang memiliki efek yang besar bagiku.

***

Bel istirahat berbunyi, dengan tergesa aku menghampiri kelas Alya. "Alyaa gue mau curhat, sambil makan yuk!" teriak ku pada Alya di depan pintu kelasnya. "Sabar ndoro, gue belum selesai nulis nih," balas Alya dengan teriak juga. Lama-lama seperti di hutan deh.

 "Gerak cepat plis," ucapku sambil memutar kedua bola mataku malas. "Udah nih, ayo ke kantin!" ucap Alya sambil berjalan dengan sedikit meloncat seperti anak monyet. "Gue mau curhat," kataku sambil memasang wajah melas.

"Eh ada anak monyet melas," ucap Alya dengan setengah berteriak. Padahal kan tadi aku yang bilang dia seperti anak monyet, kenapa malah dia yang ngatain aku? Lupakan saja.

Dengan refleks, aku pun memukul tangannya, "Enak aja, btw gue dicuekin sama Revan." Mengucap nama itu membuatku merasakan sedih kembali. Alya yang menyadari perubahan suasana dariku, langsung paham. Dia memang sahabatku yang paling mengerti. 

"Gapapa nay, cowok ganteng di dunia ini masih banyak kok. Dan pasti mereka bakalan suka sama lo," ucap Alya sambil mengusap-usap punggungku. Aku pun merasa tenang kembali, dan dengan setengah berlari, aku dan Alya menuju ke kantin.

Aku yang tidak melihat seorang anak kelas X yang membawa semangkuk bakso dan segelas jus alpukat menjadi kaget. Dan tanpa bisa berhenti, aku pun menabraknya. Hari ini sungguh menyedihkan. Setelah dicuekin Revan, saat ini aku harus mandi kuah bakso dan jus alpukat. 

"Ma-maaf Kak Naya. A-aku gak sengaja kak, ma-maaf." Adik kelas itu langsung meminta maaf padaku.

Padahal yang seharusnya meminta maaf kan aku, nggak lihat-lihat sih. "Gapapa dik, aku yang salah. Maaf ya? Ini uangnya aku ganti," ucapku sambil melihat bagaimana rupaku sekarang.

I'm DoneWhere stories live. Discover now