24

2.2K 329 31
                                    

Home • Dua Puluh Empat

Dia pergi.

Dia benar-benar pergi.

Aku hampir saja ambruk jika saja beberapa detik lagi Luke tidak menahanku.

Tubuhku bergetar hebat, air mata mengalir dari kedua mataku membasahi pipiku, tidak bisa lagi kutahan.

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, yang aku tahu, duniaku hancur.

Seakan akan apa yang sudah aku bangun hancur begitu saja di depan mataku.

Dia membawaku ke pelukannya, mendekapku erat, mengelus rambutku lembut.

"Lo kuat Liv," ujarnya, meyakinkanku bahwa aku akan baik-baik saja.

Wangi aroma parfum yang dia gunakan langsung menyeruak ke dalam hidungku. Ah, wangi itu.

Wangi yang sama yang hampir setiap hari aku hirup, wangi yang sama yang bertahun-tahun selalu berhasil untuk menenangkanku, wangi yang sang at aku rindukan.

Pelukannya. Pelukan yang sama yang selalu berhasil membuatku merasakan sensasi kenyamanan yang kelewatan.

Aku ingin waktu berhenti sekarang, sesaat lagi, aku ingin terus di posisi ini, dengan dia yang menguatkanku.

"You're okay," bisiknya tepat di telingaku, memberiku ketenangan di tengah kehancuran.

Memberiku harapan di tengah keterpurukan.

Memberiku cahaya di tengah kegelapan.

⚫⚫⚫⚫⚫

"Liv, lo kenapa?" tanyanya, menyadari sikapku yang sudah lama hanya diam membisu.

Bukan apa-apa, tapi mulut ini masih tidak sanggup berkata-kata. Sakit di hatiku kian terasa. Seperti ada banyak tangan take terlihat, menghalangiku untuk berbicara.

Aku hanya menangis, masih memegangi bingkai yang berisi fotonya. Tapi kali ini berbeda, aku tidak meraung, atau berteriak. Hanya air mata yang keluar tanpa isakan, aku menangis dalam diam.

"Aneh,"

Aku hanya memberinya tatapan kosong, aku masih terfokus menatapi ruang, tidak sekalipun menoleh ke arahnya.

Aku menyandarkan kepalaku ke bahunya, aku tahu dia tidak keberatan,

"Rasanya tuh, aneh,"

"Gue kehilangan dia,"

"Ahhhh!! Gue gak ngerti sama perasaan gue sendiri!" erangku, akhirnya, setelah cukup lama membisu, mulut ini bicara lagi.

Aku masih menangis, dan masih dalam diam, "Dia udah bahagia di sana Liv, dan gue yakin dia pengen lo bahagia, dia gak mau liat lo terpuruk kayak gini,"

"Liat gue," ucapnya, lalu membawa wajahku untuk menatap wajahnya, ada senyuman terukir di kedua sudut bibirnya, membuatku luluh seketika.

"Lo bakal baik-baik aja," ucapnya lagi.

Dan aku percaya, kalau aku akan baik-baik saja.

"Luke?"

"Hm?"

"Temenin gue ke makam Louis,"

⚫⚫⚫⚫⚫

"Oliv, ada Luke, turun sayang," ucap Mama setengah berteriak dari lantai bawah.

Aku tidak menyaut, aku masih berbaring di kasurku, rasanya tidak ingin kemana-mana, disini nyaman.

Sontak aku menyingkapkan selimut yang kupakai dan mendongak begitu aku mendengar suara pintu kamarku yang dibuka. Luke.

"Ngapain lo?" tanyaku ketus, mengganggu saja.

Dia ikut menghempaskan tubuhnya di kasurku, "Kata Mama lo, susul aja Olivnya, Oliv ada di kamar, yaudah gue turutin,"

"Gue gak butuh penjelasan," ucapku, lalu kembali menyelimuti tubuhku dengan selimut.

Dia menarik selimutku, iseng, "Bangun buruan!!"

Aku menariknya lagi, "Apaan sih lo! Sana ah! Luke! Diem napa ish!!"

"Gue gak bakal diem sebelum lo mau temenin gue ke toko musik,"

"Anjing! Ganggu aja lo! Makanya! Cari pacar!!" sahutku geram, lalu menenggelamkan kepalaku ke bantal.

"Gimana gue mau nyari pacar kalo yang gue pengen ada disini,"

Lucas Robert Hemmings, simpanlah kata-kata rayuanmu itu untuk gadis lain,

Maaf, karena hatiku masih menyimpan satu nama.

home » lwtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang