PROLOG

1.7K 136 17
                                        

Sangat disarankan for playing the multi media

•••


Rintik. Butiran air sedang berbondong turun dari langit.

Seseorang berlari kecil dengan kaki mungilnya yang mulai pucat. Cuaca dingin semakin membuatnya menggigil tidak tertahan. Ada kilatan cahaya di sela-sela langit meski bunyinya tidak menggelegar, ditambah awan mendung saat itu seolah menjadi atap tak berujung, mengikuti sepasang kaki yang berlari gontai menyusuri jalan.

Ada yang berkata, kalau hujan turun, maka akan ada angin-angin memori yang membelai lagi. Ada kilatan-kilatan ingatan yang merasuk. Identik akan kenangan lampau, meski yang berlalu dalam hitungan menit sekalipun. 

"Vin..." Nafasnya tersendat, ada peluh yang membasahi dahi itu. "Aku lega, kamu gapapa."

Rembulan tersenyum lemah, langkah nya yang berat maju mendekat ke arah seseorang yang kini memandangnya datar. "Vin.. a-aa aku takut kehilangan kamu." Menelan ludahnya yang terasa menggumpal di kerongkongan, "Aku... ssa sayang sama kamu."

Kening cowok itu mengernyit ,"Sorry, siapa?" Kepalanya terasa berat dan nyeri, pandangannya agak buram.

Seperti ada benda tajam yang mencabik hati nya, Rembulan terdiam. Telinganya seolah berdenging nyaring. "Vin..?" Ada getaran halus di suara itu.

Berdecak, cowok itu menyentuh kepalanya yang seketika nyeri, belakang kepala nya itu terasa begitu berat dan menusuk. Amat ngilu, sampai-sampai sejak lima belas menit lalu matanya tidak berhenti memicing dan mengerjap menahan agar ringisan tidak keluar begitu saja dari bibirnya.

"Vin, aku..."

Belum sempat Rembulan menyelesaikan perkataannya, cowok itu segera menyela, "Please, kepala gue sakit banget sekarang." Sorot mata itu berbeda, seolah menyiratkan agar Rembulan pergi dari sana sesegera mungkin.

Terkesiap, wajah itu semakin muram. Rembulan merasakan matanya penuh dan semakin panas, pandangannya menjadi kabur. "Mm-maaf." Ucap cewek berambut pendek sebahu itu, seolah tercekat oleh suara nya sendiri yang berubah serak.

Seseorang yang kini terlentang di atas kasur berlapis sprei putih bersih itu mengusap wajahnya kasar, kembali mengerjapkan mata beberapa kali. Menghela nafasnya, "Yeah, ok.. just please?" Sahut cowok itu, lantas mengalihkan tatapannya dari Rembulan yang masih berdiri kaku di hapadapnya sekarang.

Dengan hati-hati cowok itu perlahan melempar pandangan ke segala arah, menelisik setiap detail ruangan yang sepi itu. Hanya ada mereka berdua di sana.

"Oh ya, tolong panggilin suster di luar ya, sekalian."

Rembulan meringis pedih, ia menutup matanya rapat-rapat saat memori pahit itu melintas, lagi. Di bawah pohon besar yang rimbun, cewek itu memeluk dirinya sendiri. Hembusan angin menusuk dingin sampai ke tulang, percikan air hujan pun terasa begitu tajam saat menyentuh kulit. Beberapa kali ia menyeka air yang mengenai beberapa bagian tubuhnya, seolah hujan itu sama keras kepalanya, mereka tetap memercikkan butiran-butiran air itu tanpa ampun.

Rembulan tertunduk lemah, kedua tangannya menopang wajahnya yang ia tenggelamkan di kedua telapak tangan. Kaki nya gemetar, seolah belum sanggup untuk berlari menembus hujan dan melanjutkan perjalanan pulang. Dalam duduknya yang termenung di atas bangku kayu panjang, ada satu hal bodoh yang melintas dibenaknya secara terus-menerus, bertubi-tubi. Saat-saat dimana dia mengungkapkan perasaan terkutuknya pada orang itu, di waktu yang salah, yang paling dia sesali. Kalau semesta bisa bercanda, mungkin di saat seperti itulah candaan itu bergulir.

Rembulan ingat betul, saat itu sore hari, setelah mendengar kabar yang sebenarnya tak pernah ia bayangkan sebelumnya, cepat-cepat Rembulan menemui Davin. Menorobos koridor yang dindingnya serba putih, berlari cepat sampai nafas tersengal. Hatinya seolah melambung, dilanda cemas dan gamang. Semua itu terjadi begitu tiba-tiba, membuatnya percaya bahwa semua itu awalnya hanya mimpi buruk, namun bukan mimpi yang datang padanya melainkan fakta yang tidak ter-elak lagi.

Sesaat setelah pintu di hadapnnya ia dorong dengan tergesa, Rembulan dapati seseorang yang sejak tadi sudah memenuhi pikirannya terbaring di sana.

Cewek itu tercekat saat menerima tatapan itu, sorot yang begitu asing. Sampai tanpa sadar Rembulan telah berjalan lesu merapat pada Davin, dia berdiri tepat disampingnya. Dari situlah semua kenangan buruk itu terjadi, bermula dari sorot mata Davin yang memandangnya tanpa binar, kata-kata yang keluar dari mulut itu, ungkapan perasaan yang Rembulan utarakan, serta perpisahan yang menyesakkan. Betapa runtutuan menit itu terasa lama dan menyita energi, menunjukkan bahwa kehilangan memang sudah di depan matanya, melambai penuh kepastian.

Tes.

Bukan rintik hujan, tapi air mata yang turun tanpa diperintah. Namun Rembulan tetap diam, tidak mencoba menyeka air mata yang terus bergulir, biarlah hujan yang menyamarkan.


****


Thanks kalian udah baca cerita ini, please tinggalin jejak. Vote and comments, :'D
Cerita bakal dilanjutin kalo dapet minimal 6 vote dulu deh.

Happy reading :)

GleamingWhere stories live. Discover now