TEASER

11.8K 599 63
                                    

Cinta.

Satu kata, yang bisa diartikan berbagai macam oleh banyak orang. Banyak orang memujanya, ada yang bersikap skeptis, tidak sedikit juga yang membencinya. Jika saat ini usiaku baru menginjak 14 tahun, aku mungkin akan memuja kata itu seperti Da Vinci memuja sosok wanita yang menjadi objek lukisannya yang paling tersohor, Monalisa. Aku akan takjub pada semua keindahan yang ditawarkan oleh kata itu, hingga tidak akan ada keraguan untuk mengikuti ke mana perginya cinta itu, tanpa harus memedulikan apa pun.

Namun, aku bukan pria berusia belasan. Bahkan, tiga bulan lalu, angka 34 baru saja melewatiku. Definisi cinta bagiku adalah logika, karena aku tidak bisa lagi menyerah begitu saja tanpa harus memikirkan banyak hal dalam hidupku, terutama Adam. Selama lima tahun, hanya dia yang menjadi pusat hidupku. Hanya kebahagiaannya. Melihat senyumnya setiap pagi, mendengar tawanya di sela kesibukanku dan memeluknya setiap malam. Hanya Adam.

Aku termenung menyaksikan televisi yang sedari tadi gagal menyita perhatianku. Pikiranku terlalu penuh untuk mengikuti apa yang ditayangkan di televisi. Mungkin, aku memang harus tidur. Benar-benar beristirahat. Saat ini, bahkan tidak ada keyakinan, jika mataku terpejam, maka aku akan tertidur. Aku menelan ludah, sebelum memencet tombol POWER hingga yang tertampil di hadapanku adalah layar hitam. Beranjak dari tempat tidur, aku berjalan menuju kamar Adam, yang memang hanya terpisah oleh sebuah pintu. Ketika membangun rumah ini, aku memang menginginkan connecting room antara kamar utama dan kamar Adam. Dengan model seperti ini, aku bisa memastikan bahwa dia baik-baik saja, tanpa harus berjalan keluar dari kamar.

Putra semata wayangku tidur begitu pulas, hingga tidak menyadari bahwa selimut yang aku gunakan untuk menutupi tubuhnya telah terkumpul di ujung kakinya. Aku menghampirinya, menaikkan kembali selimut hingga mencapai dagunya, dan mengecup keningnya sebelum duduk di tepi tempat tidur dan membelai rambutnya pelan.

Dadaku terasa sakit, setiap kali melihat Adam tertidur pulas seperti ini, karena hanya ketika dia tidur, aku membiarkan emosi yang aku pendam, keluar. Aku terisak pelan, membayangkan bahwa bulan depan, kamar ini akan kosong. Aku bahkan tidak bisa membayangkan, akan seperti apa ketika hari itu tiba.

Adam akan ke London, mengikuti Kara, yang memenangkan hak asuh Adam atas diriku, ketika kami memutuskan untuk bercerai. Perceraian kami tidak berlangsung alot, tapi persidangan atas hak asuh Adam lah yang membuat kami berdua tidak ingin mengalah. Sidang demi sidang yang membuat emosiku begitu lelah dan perjuanganku untuk membuat Adam agar tetap bersamaku. Ketika akhirnya hakim memutuskan sebaliknya, duniaku seperti dilanda gelap berkepanjangan. Aku tidak akan sepenuhnya kehilangan Adam, tapi tiga bulan bersamanya dalam satu tahun jelas tidak cukup, apalagi jika dia sudah mulai sekolah dua tahun lagi. Hanya 90 hari dari 365 hari yang bisa aku dapatkan untuk bersama Adam.

***

So, cukup penasaran atau nggak? :)

Akan di-post minggu ini, jadi, selamat menunggu ya? :)


SEBUAH PILIHAN HATIWhere stories live. Discover now