Part 13

8.6K 494 47
                                    

"Eeh, kita mau ke mana sih?" Tanyaku heran ketika esoknya Velino mendorong aku masuk mobil mewahnya

"Yaa ikut aja kali, namanya juga perintah," jawab velino, yang berkaus pink bergambar tokoh Pokemon.

Satu setengah jam kemudian, kami tiba di tempat yang dituju, sebuah villa mewah di wilayah puncak.

"Ini..." bisikku.

"Ini villa pribadiku," jawab Velino, "di sini aku menyimpan banyak mainan."

"Mainan?"

Velino mengangguk. Ia menarik tanganku masuk ke bagian belakang villa besar itu. Benar saja, ada ayunan, jungkat-jungkit, bola berputar, prosotan. Seperti taman kanak2 saja. Dengan norak Velino menaiki ayunan dengan antusias, lalu naik prosotan dan lain2 sampai puas. Aku hanya nungguin seperti baby sitter.

"Kamu nggak main?" Tanyanya. Aku menggeleng. Melihat Velino seperti itu lucu juga. Aku jadi berasa punya anak. Anak kecil yang aktif dan nakal.

"Kalau gitu kita masuk yuk," ajaknya. Ia membimbingku duduk di sofa yang menghadap ke kaca jendela yang super besar dan transparan, dari situ kita bisa melihat pemandangan yang indah.

"Indah," bisikku. Velino tersenyum. Dia agak tenang sekarang.

"Kamu nggak nanya mengapa aku seperti ini?" Tanya Velino memulai pembicaraan.

"Kalau kamu mau cerita, pasti kamu cerita. Falsafah itu yang terdapat dalam buku2mu kan? Bahwa dipaksa itu nggak enak," jawabku. Velino tertawa kecil sambil mengacak rambutku

"Memang aku paling benci dipaksa... Waktu aku kecil, aku selalu dipaksa belajar oleh orangtuaku," kisahnya, "walaupun aku nggak suka. Akibatnya aku kehilangan banyak waktu bermainku. Positifnya, aku bisa menjadi orang pintar seperti sekarang. Tapi bagaimanapun, aku masih merindukan saat2 masa kecilku yang hilang. Makanya kadang aku merefleksikannya sekarang, di masa dewasaku."

Aku mengangguk2. Ah, ternyata menjadi seperti ini juga bukan kemauan Velino...

"Orangtuaku bilang aku harus menjadi ilmuwan," lanjutnya, "tapi aku justru suka menulis. Mereka bilang aku harus berhenti. Tapi aku tidak mau. Menulis adalah satu2nya yang masih kumiliki sementara semua kesenanganku direnggut oleh mereka. Hm,... kamu ingat karyaku yang pertama kan? Rendezvouz?" Aku spontan mengangguk.

"Kalau kamu tau, itu buku tdk seberapa laris di pasaran. Saat itu aku berpikir, aku akan berhenti menulis, dan mati saja."

"Apaa??" Seruku heran. Velino mengangguk.

"Aku juga pernah ingin bunuh diri. Tapi..." Velino berhenti dan tersenyum, "ada seseorang yang gemar sekali menyuratiku. Dia bilang hidupnya berubah karena membaca karyaku. Dia bilang aku penyelamatnya. Dia bilang aku harus terus menulis..." Velino menoleh dan menatapku, "dia... gadis itu... adalah penyelamatku."

Wajahku langsung memerah bak kepiting rebus. Berarti selama ini... Velino tau bahwa akulah si penulis surat itu? Aduh... malunya!

"Tapi sampai sekarang aku tidak tau siapa gadis itu. Soalnya surat2 itu tdk pernah mencantumkan nama. Hanya inisial R yang ditulisnya," sambung Velino.

Ya ampun... untunglah dia belum ngeh, bisikku dalam hati. Tapi apa salahnya jika dia tau?

"Jika aku bertemu dengan gadis itu maka... aku pasti akan mengajaknya hidup bersamaku. Asal dia bisa menerima aku apa adanya... yang seperti ini," tambahnya. Aku makin salah tingkah, tak tau apa yang harus kukatakan lagi.

"Menurutmu, apa dia bisa menerimaku apa adanya?" Tanya Velino, "cowok yang jorok, kekanakan, agak gila, sableng, suka pipis dan eek, minum air mentah, suka makan kodok, pelihara boneka, main ayunan?"

My Crazy Professor (Profesor Gilaku)Where stories live. Discover now