Caramel macchiato dan waffle chocolate,” ujar Alex sambil memperhatikan daftar menu yang berada di tangannya.

“Baik. Apakah ada lagi, Tuan?” ucap Airyn dengan masih menundukkan kepalanya.

“Tidak.” singkat, padat dan jelas.

“Pesanan Anda akan segera datang, Tuan. Permisi.”

Alex hanya membalasnya dengan bergumam. Huh, dasar manusia es!

Airyn berjalan masih dengan kepala yang menunduk ke bawah untuk menyembunyikan wajahnya dari salah satu murid HS itu. Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya pesanan Alex sudah selesai dibuat. Dan sekarang, ia harus mengantarkan pesanannya juga yang sudah pasti akan bertemu dengannya lagi. Rasanya, kaki dan tangan Airyn begitu kaku dan terlihat gemetar saat membawakan nampan untuk cowok di meja nomor 8. Jantungnya pun tak bisa diajak bekerja sama. Karena setiap kali ia memandangnya, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.

Tenang Airyn, jangan terlihat gugup di depan manusia es! Santai Airyn, santai... Anggap aja dia bukan seorang Alexander’ hatinya menyemangati.

“Permisi. Ini pesanan Anda, Tuan,” ucapnya dengan sedikit gemetar. Ia sampai memakai sebuah masker untuk menutupi sebagian dari wajahnya, agar cowok ini tidak mengenali siapa dirinya.

Saat namanya disebut oleh salah satu pelayan di cafe ini, ia pun yang sedari tadi sibuk dengan ponsel berlogo apel yang sudah digigit sedikit itu mendongak ke arah pelayan yang memakai masker sambil membawa nampan berisi pesanannya. Mata mereka saling beradu satu sama lain, si gadis menatapnya dengan tatapan teduh sekaligus malu-malu, sedangkan si pria menatap si gadis dengan tatapan tajamnya. Tatapan tajam itu membuat si gadis bergidik ngeri, namun gadis itu sudah biasa melihat tatapannya seperti itu.

Setelah beberapa saat mereka saling bertatapan, salah satu dari mereka memutuskan secara sepihak kontak mata yang terjadi diantara mereka berdua.

“Hmm..” jawabnya dengan gumaman.

“Kalau begitu, saya permisi.” Airyn dengan terburu-buru pergi ke arah toilet. Airyn ingin menenangkan jantungnya yang berdetak dengan sangat cepat. Sungguh, baru kali ini ia bisa berada sangat dekat dengan seorang Alexander. Meskipun Alex menampakkan wajah dinginnya, itu tidak membuat ketampanannya menurun, justru kebalikannya. Ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. Sungguh ciptaan Tuhan yang sangat sempurna. Rasanya seperti mimpi baginya, dapat melihatnya dengan jarak sedekat itu, berbicara dengannya walau hanya berbicara seperti itu. Tapi, itu sudah bisa membuat Airyn merasa senang, seperti anak kecil yang diberi sebuah permen oleh ayahnya.

Namun, bagaimana kalau Alex mengenalinya? Tapi, seorang Alex tidak mungkin peduli dan mengenalinya. Airyn hanya seorang gadis biasa yang bekerja sebagai seorang pelayan disebuah cafe.

********

Disisi lain..

1 jam sebelumnya..

Saat bunyi bel sekolah berdering, yang menandakan jam pelajaran telah usai, seorang cowok tengah duduk dikursi kesayangannya sambil membaca sebuah buku. Kursi itu berada di pojok ruang kelas. Sejujurnya, ia hanya mengulur-ulur waktu saja, ia merasa bosan berada di rumah. Maka dari itu, ia memutuskan untuk mengurangi kebosanannya dengan membaca buku sembari mendengarkan musik dari ponselnya.

“Lex, gak pulang lo?” tanya salah satu sahabatnya.

“Nanti,” jawabnya tanpa menoleh sedikit pun

“Yaudah, kita bertiga pulang duluan ya Lex,” ucap yang lainnya

“Ya”

Alex hanya menjawab seperlunya saja, entah sampai kapan Alex akan menjadi seorang manusia es yang sangat sulit dilelehkan. Akhirnya, ketiga sahabatnya—Rendi, Gilham dan Zero pun pulang lebih dulu, meninggalkan Alex yang masih ingin berada di dalam kelas. Ketiganya heran, kenapa sahabatnya itu bisa berubah menjadi sangat dingin? Mereka ingin menanyakannya sejak dulu, tapi mereka tidak berani.

Ia melirik ke seluruh penjuru ruang kelas, dan matanya tak sengaja menatap seseorang yang sedang merapihkan buku-buku yang memenuhi mejanya. Namun, ia segera mengalihkan pandangannya ke arah buku yang masih setia berada di tangannya. Setelah kelas dirasa sepi baginya, yang hanya menyisakan dirinya seorang di dalamnya, ia dengan asal memasukkan buku yang ia baca dan melesat turun untuk mengambil motor sportnya di parkiran sekolah.

Alex melaju dengan kecepatan sedang di tengah hirup pikuk kemacetan kota Jakarta yang tidak pernah kenal kata libur. Akhirnya, sepuluh menit kemudian, ia sampai di sebuah cafe yang berjarak tak jauh dari sekolah.

Ting!

Bunyi itu menandakan bahwa ada pelanggan yang datang atau keluar. Alex lebih memilih duduk di dekat jendela, karena itu merupakan tempat favoritnya dengan seseorang.

Banyak pasang mata memandangnya kagum karena kharisma yang dimilikinya mampu membuat siapapun terpikat hanya dengan sekali tatap. Matanya yang berwarna abu-abu, memancarkan sebuah tatapan yang sangat dingin, namun tetap memikat bagi siapapun. Karena ia terbiasa menerima semua tatapan memuja dari para perempuan, maka ia mengabaikannya. Ia tidak peduli sama sekali.

Tiba-tiba seorang pelayan datang menghampirinya dengan masker yang menutupi sebagian dari wajahnya. Sesaat, ia seperti pernah melihat tatapan itu, tetapi ia lupa kapan dan dimana. Pelayan itu selalu menundukkan wajahnya, tanpa mau melihat pelanggan yang berada di depannya. Entah kenapa, tatapan mata itu mirip sekali dengan tatapan mata seseorang.

Andai aja, gue bisa memutar balikkan waktu kembali ke masa tersebut, mungkin gue saat ini masih bisa melihat tatapan mata itu’ batin Alex

To be continue

" gimana?? Hihihi
Follow aku yaaa!!... oke?👌

Tinggalkan jejak kalian yaaa..

Jangan lupa Vote dan comment yaa:) makasihhh"

ALRYN [ON EDITING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang