Dia gugup. Melihat ke sekitar. Aku paham. Dia takut ada yang melihat.

Perlahan aku menghentikan dan memindahan tangan. Ku ambil hp.

"Mmh...Pak Adam teh sedang apa?"

"Saya foto pancake buatan kamu. Supaya saya bisa kirim ke teman-teman saya di Portland."

"Kenapa?"

"Mmh..."

Aku mengirimkan foto ke chat group Nat's lengkap keterangan gambar : "my woman just made me special pancake coz i'm awesomely special"

"Kenapa pake dikirimin segala?"

Aku tersenyum. Ku taruh iPhone di meja. "Kenapa tidak?"

Aku mulai menyantap pancake yang ada dihadapanku. Mmmh. Enak.

Hp ku mulai berbunyi tanda teman-temanku mulai sibuk memberi komentar.

Ku raih iPhone ku.

Nathan : u got u'r self a woman? Mmh. Thats new.

Mell: poor girl. LOL.

Alex : lets us see her. If u dare!

"Sini..." Ku tarik tubuhnya mendekat padaku. Ku rangkul. Ku tempelkan pipi di atas kepalanya."

"Mau apa?" Nastiti terdengar panik.

"Ssshh. Kita foto sebentar..."

Setelah beberapa kali mengambil gambar, ku pilih yang terbaik. Ku kirimkan ke grup.

Sedetik kemudian berbagai komentar berdatangan. Membuatku tertawa. Saat Nastiti mengerutkan dahinya, ku rangkul bahunya supaya kita bisa sama-sama membaca komentar tersebut.

Beberapa kali aku sempatkan mengecup kepala dan pipinya. Segalanya terasa alami. Terasa benar. Terasa tepat.

Sampai terdengar suara perempuan berdehem. Bi Mae.

"Maaf. Ti...dipanggil ibu. Disuruh pijit. Ibu pegal-pegal katanya..."

Nastiti mengangguk. Langsung beranjak pergi. Bi Mae melangkah mengikutinya.

***

Aku menghela nafas. Mengingat kejadian kemarin.

Kini aku sendirian di tempat yang sama Bi Mae memergoki kami. Sekarang dimana ada Nastiti disitu ada bibinya. Sepertinya pembantu setia ibuku itu ingin melindungi keponakannya dariku.

Damn.

Aku memang bukan orang suci tapi tak ada nyaliku untuk menyakiti Nastiti. Sebaliknya, segala yang ku lakukan padanya murni dari hati.

Aku mencintainya.

There. I. Said. It.

Hp ku berbunyi. Ayah.

"Halo?"

"Adam. Bisa ke kantor ayah?"

"Mmmh...ya. Oke."

"Pake taksi saja. Nanti pulangnya bareng ayah."

Ini pertama kalinya sejak sepuluh tahun silam aku mengunjungi kantor ayah.

Ku pandangi pemandangan kota dari dinding kaca kantor ayah. Setelah beberapa lama ku dengar pintu dibuka. Ayah masuk mendatangiku yang sedari tadi menunggu di ruangannya.

"Sorry. Meeting molor. Ta pikir beres sebelum kamu sampe. Tahunya..." Ayah mengangkat bahu dan tangannya.

Aku tersenyum. Mengangguk. "It's okay..."

Rumahku, di Hatimu (The Beginning of Undeniable Love Series)Where stories live. Discover now