Pulang

25.2K 1.3K 16
                                    


Pulang. Itulah yang ibu minta. Untuk kesekian kalinya. Kadang ayah ikut membujuk. Karrisa, adikku juga. Tapi aku kebal. Tak ada satu pun bujuk dan rayuan mereka yang mampu membawaku pulang.

Sudah 10 tahun aku merantau. Di negeri berjuluk Paman Sam. Tepatnya di Portland, Oregon. Awalnya aku datang dengan visa pelajar. Setelah sekian tahun, aku akhirnya mendapat status permanent resident.

Lari. Itulah kata mereka. Aku tak menyangkal. Alasan kepergianku memang melodramatik. Patah hati.

Amelia. Cinta pertamaku. Perempuan cantik yang telah bersamaku sejak tahun pertama kuliah. Bukan. Tentu saja dia bukan pacar pertamaku. Sudah ada seorang gadis yang menyandang gelar itu saat di SMU. Seorang lagi di SMP. Tapi, Amelia berbeda. Dia adalah seseorang yang berhasil membuatku berkata "I love you."

Amelia adalah perempuan pertama yang mampu membuat aku mengucapkannya. Sampai saat ini, belum pernah ada lagi.

Selama bertahun-tahun dia telah menjadi dewi pujaanku. Membuatku menjadi seorang pujangga yang puitis. Romeo yang memuja sang Juliet.

Sampai saat dia memberi hari tersuram dalam hidupku. Rasanya seperti dihujamkam pedang di dada. Sakit tak terperikan.

Selama beberapa lama aku hidup dalam kegelapan. Dunia hiburan malam, alkohol dan perempuan menjadi bagian dari hari-hariku.

Hubungan dengan orangtuaku memburuk. Aku hengkang dari rumah. Indekost. Bekerja serabutan. Tak peduli masalah legalitas. Aku berada di dunia hitam. Kelam.

Sampai suatu hari aku berbicara dengan Nathan via internet. Aku bertemu dengan lelaki asal Portland itu beberapa tahun sebelumnya. Saat kami sekeluarga datang ke Amerika sebagai turis.

Entah kenapa, tapi paket wisata yang kami beli dari sebuah travel agent memasukkan Portland sebagai bagian dari destinasi yang kami tuju.

Kami sempat ngopi di sebuah coffee shop. Seorang barista bernama Nathan melayani kami dengan ramah. Tak tahu kenapa tapi seketika kami klik. Lalu kami mulai berbagi akun-akun media sosial. Sejak saat itu Nathan menjadi salah satu teman yang mengisi daftar pertemanan di semua media sosial yang aku ikuti.

Kami tidak pernah bertemu lagi. Bahkan, tidak berbicara banyak selain saling mengomentari status yang kami update.

Hingga suatu malam yang merubah segalanya. Entah berawal dari mana. Tapi untuk pertama kalinya kami chatting. Bukan sekedar saling menyapa dan berbasa-basi. Kali ini kami benar-benar bicara.

Malam itu telah mengubah jalan hidupku.

"Stop di depan, Pak," kataku pada sopir taksi yang ku tumpangi. Setelah membayar ongkosnya, membawa travel bag dari bagasi akhirnya tiba juga aku di depan rumah.

Sepuluh tahun. Ini kali pertama aku pulang dalam sepuluh tahun.

Sengaja aku tidak mengatakan kepulanganku pada ayah atau ibu, bahkan Karissa. Dua minggu lalu ibu kembali mendesak aku untuk pulang.

"Adikmu akan menikah. Masa kamu tidak datang sih?"

"Yaa...lihat saja nanti..."

"Adam ini sudah kelewatan. Sepuluh tahun sudah lebih dari cukup..."

"Bu...tolonglah jangan dibahas. Please..."

Ibu menghela nafas.

"Ya sudah. Pastikan saja kamu pulang. Setidaknya untuk menghadiri pernikahan Karissa. Please..."

Kali ini bagian aku yang menghela nafas.

Ku tekan bel putih di pinggir pagar kayu setinggi 1,5 meter. Dari pintu garasi muncul seorang perempuan belia. Berkulit putih. Hidung mungil. Bibir agak tebal. Rambut hitam lurus diikat ke belakang. Gadis kurus, tingginya sekira 155 cm itu berjalan mendekatiku dengan kunci di tangan.

Setelah mengamatiku sebentar, dia tersenyum. Saat itulah aku melihat ke dua lesung pipinya.

Cantik.

"Pak...Adam yah?"

Dia menyapaku dengan logat Sunda yang kental. Aku mengerutkan dahi. Siapa dia?

"Iya..."

Senyumnya semakin lebar. Segera dia membuka pintu pagar. Membiarkanku masuk.

"Silahkan, Pak. Wah, Bu Ratih pasti senang," katanya dengan ceria. Perempuan berkaos biru muda, bercelana kain hitam selutut itu menepuk kedua tangannya beberapa kali sambil melompat-lompat.

Aku menggeleng. Seperti anak kecil saja.

Aku melangkah menuju rumah, gadis itu mengikutiku dari belakang.

Berjalan di dalam rumah menuju kamar, aku menyadari tidak banyak perubahan yang terjadi di rumah. Semua terlihat sama. Tidak ada perubahan yang signifikan.

Sejumlah foto-foto keluarga terbingkai menghiasi tembok ruang keluarga kami, pasti dari foto-foto itulah perempuan itu mengenaliku.

Aku masih belum menemukan anggota keluargaku. Seperti yang ku duga. Ayah saat ini tentu masih di kantor. Ibu di tempat praktik. Karissa...entahlah. Mungkin di kantornya --bila belum mengambil cuti. Atau ada urusan di luar.

Ku masuki kamarku. Semuanya masih terlihat sama. Kurang lebih seperti saat ku tinggalkan dulu.

Tok. Tok.

"Masuk," kataku.

Pintu terbuka. Perempuan muda tadi menampakkan kepalanya. Terlihat malu-malu.

"Maaf, Pak. Saya bawain minuman dan cemilan. Buat ganjel..."

Oh.
Aku mengangguk.

Dia masuk ragu-ragu dengan baki di tangan.

"Apa itu?"

"Mmh...air putih. Kopi. Sama...kueh..." Saat menyebutkan kue dia tersipu, wajahnya memerah. Malu?

"Kue apa?"

Ia menelan ludah sebelum menjawab. "Strawberry chesse cake."

Okay.
Lantas apa yang membuat dia terlihat malu-malu?

"Ya sudah. Makasih. Taruh saja di meja itu," aku menunjuk meja belajarku.

Dia mengangguk. Lalu menaruh baki tersebut di meja.

"Permisi, Pak..." Ia mengangguk perlahan sambil menggerakan tubuhnya. Hendak melangkah pergi.

"Tunggu."

"Iyah?"

"Kamu siapa?"

"Oh.." Dia tersenyum. Manis. Senyum termanis yang pernah ku lihat. "Saya...Nastiti. Panggil saja Nas atau Titi. Biasanya, saya dipanggil begitu. Mmh...saya...kerja disini..."

Pembantu.

Atau sekarang populer dengan sebutan asisten rumah tangga.

Tentu saja. Ini Indonesia. Kebanyakan rumah tangga memiliki setidaknya seorang pembantu. Sesuatu yang kurang lazim di Amerika. Hanya orang-orang yang sangat kaya yang punya live-in maid. Berbeda dengan disini, disana mereka umumnya diperlakukan secara profesional. Dibayar per jam. Punya jam kerja dan hari libur. Intinya, jasa mereka mahal.

Anyway...

Tuhan. Tolong. Kurasa. Aku. Mengagumi. Pembantu. Ibuku.

Aku harus segera balik ke Portland. Secepatnya. Sesampainya disana aku akan menghubungi Alice. Atau Jane, Lynn, Ruth.

Hell.

Siapa pun yang available.

"Ehem."

Nastiti berdeham. Tersenyum. "Permisi, Pak.."

"Oh. Ya..."

Lalu dia beranjak meninggalkan kamarku.

Rumahku, di Hatimu (The Beginning of Undeniable Love Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang