Chapter 90 Language That Logic Cannot Smell

Start from the beginning
                                        

Lady Freya, yang lahir dari garis keturunan sihir purba, selalu merasa terasing di antara para penyihir lainnya, merasa tidak cukup baik untuk bersaing. Ketika dia melihat Rinoa dengan senyuman penuh percaya diri, napasnya terasa terengah-engah. Kecintaannya pada Fitran yang terancam oleh ketidakpastian dan keputusasaan telah membentuk obsesinya yang mendalam, memunculkan jari-jari yang bergetar, mencengkeram senapannya dengan kuat. Setiap kali dia terlihat bersamanya, suara hatinya berbisik, "Apa yang akan kau lakukan jika dia menolakmu?" Ini adalah ketakutan yang mengekang keberaniannya untuk menyatakan perasaannya, memunculkan kilasan bayangan pemikiran masa depan yang kelam di benaknya.

Saat ia menyelinap ke ruang pribadi Fitran, menawarkan wine sambil terlihat sekuat mungkin, dan bisikan simpati yang penuh harapan, Freya mengenang masa lalu mereka. Sebelumnya, mereka sering bertukar ide dan strategi mengenai penggunaan sihir, menciptakan kedekatan yang membuat hatinya bergetar—setiap senyuman, setiap tatapan itu terasa seperti sihir yang memikat. Namun, saat Rinoa muncul—teori dan praktik sihir Rinoa yang lebih kuat dan memikat, dengan fluktuasi energi magis yang melingkupi tubuhnya seperti gelombang cahaya bergetar—hubungan mereka mulai terasa terancam. Rinoa berdiri dengan sikap yang menantang, tatapan tajamnya seperti mengintimidasi aura magis Freya. Freya tahu bahwa Rinoa memiliki kekuatan untuk menarik perhatian, dan posisinya sebagai penghuni lantai 50 Atlantis Magic School memberinya kelebihan yang tidak bisa Freya lawan, membuatnya merasa semakin kecil di hadapan sosok yang sangat mempesona itu.

Dalam monolog internalnya, Freya berjuang melawan perasaan rendah diri dan cemburu. Ia meremas jemarinya hingga kepalan, memperlihatkan kegelisahan yang menggerogoti. "Apa dia lebih berharga? Apa dia bisa memberikan apa yang Fitran cari?" pikirnya, saat matanya melirik ke arah Rinoa, sosok anggun yang berdiri di sana dengan percaya diri. Seandainya aku bisa menjadikannya sederhana... seandainya aku bisa menjadi sosok yang ia inginkan." Setiap kata yang ia ucapkan seolah dibayang-bayangi oleh keberadaan Rinoa, yang seolah bersinar di dalamnya, menciptakan kontras dengan kegelapan yang menyelimuti Freya. Dua kekuatan ini berfungsi dalam hirarki sosial Atlantis, di mana Freya merasa terperosok dalam bayang-bayang Rinoa yang bersinar.

Di sisi lain, Rinoa yang melayang masuk dengan sikap angkuh dan mata yang menyala, seolah aura Void di sekelilingnya memperkuat setiap langkahnya, menggambarkan ambisinya untuk menguasai dunia sihir. Sejak kecil, ia telah dididik untuk menjadi yang terbaik, dan setiap tantangan yang dihadapi menjadi bahan bakar untuk pencarian kekuatan dan pengaruh. Dalam pikirannya, kedatangan di ruang ini adalah langkah besar menuju kekuasaan. Namun, ketika melihat Freya dan Fitran bersama, detakan jantungnya perlahan-lahan tersendat, menimbulkan keraguan yang menggelitik hatinya. "Apakah aku benar-benar harus menghancurkan mereka, atau ada cara lain untuk mendapatkan apa yang aku inginkan?" Rinoa merasakan bayangan gelap melintas di antara mereka, menggoyahkan keyakinannya dalam kekuatan sihirnya.

Dengan kedua latar belakang yang bertentangan, konflik antara Freya dan Rinoa tidak hanya tentang cinta yang tidak terbalas tetapi juga tentang kekuasaan dan identitas masing-masing dalam dunia sihir Atlantis. Lingkungan sekeliling mereka semakin suram, seolah atmosfer bergetar di antara kehadiran mereka. Di sudut-sudut ruangan, cahaya lembut berjuang melawan semburat bayangan yang diciptakan oleh aura magis mereka, menciptakan ketegangan yang hampir bisa dirasakan.

Tapi saat itu juga, dari balik jendela terbuka—Rinoa melayang masuk, matanya menyala dengan aura Void yang gelap, seolah-olah menampakkan bayangan mendalam dari jiwanya yang terluka. Rinoa, yang sejak lama terjebak dalam pusaran ambisi dan pengkhianatan, melihat Freya dengan tatapan penuh kebencian dan rasa iba, gigi terkatup rapat menandakan kemarahan yang terpendam. Perubahan mendadak ini mengubah dinamika, menandakan sebuah pertempuran antara perasaan lama yang bergejolak dan intrik baru yang tak terduga yang menyelimuti ruangan dengan ketegangan tebal.

"Freya... keluar dari ruangan ini," ancam Rinoa, suaranya bergetar penuh emosi, tangan terkepal di sisinya, dan jari-jarinya bergetar seolah-olah siap untuk melepaskan sihir berbahaya. "Atau kau akan kehilangan seluruh kulitmu secara perlahan, lapis demi lapis, sambil mendengar suara hatinya yang tidak pernah memilihmu." Di dalam hati Freya, ketakutan paling dalamnya berkecamuk; dia bisa merasakan napasnya yang cepat dan dagunya bergetar,—apakah dia akan lagi ditolak, kali ini oleh orang yang dulunya dianggap sahabat? Rasa cemas menggigit-gigitnya, matanya berkilau penuh air mata yang tertahan, memaksa memori-memori lamanya tentang persahabatan mereka yang penuh harapan untuk berusaha melawan perasaan sakit yang baru muncul dengan menggenggam erat dadanya.

Fitran tidak menghentikan mereka. Ia duduk dengan tenang, tatapannya tajam dan waspada, seolah-olah seorang juri dalam pertempuran dua kekuatan perempuan yang mewakili sisi berbeda dari sihir: penguasaan dan kehilangan. Freya, yang berasal dari keluarga bangsawan Atlantis, terkenal karena kemampuannya dalam sihir bela diri—tubuhnya tegap, dengan gerakan yang berani dan percaya diri saat dia bersiap menghadapi Rinoa. Rinoa, di sisi lain, berasal dari latar belakang yang lebih rendah, tetapi bakat alaminya mengangkatnya ke posisi prestisius, dan ia tidak akan membiarkan siapapun, termasuk Freya, menghalangi jalannya; matanya penuh determinasi dengan cahaya misterius menyelimuti tubuhnya. Sihir mulai bergetar di udara di sekitar mereka, warna ungu gelap dan biru melingkari jari Rinoa, mencerminkan keadaan emosionalnya yang tak stabil—seolah-olah siap meledak kapan saja.

Seiring dengan ketegangan yang menyelimuti ruangan, suasana berubah secara drastis. Kenangan akan persaingan mereka di masa lalu menyusup ke dalam benak Freya, momen-momen ketika keduanya, meski bersama dalam satu tim, selalu berhadapan dalam setiap ujian. Freya, dengan rahang yang mengencang dan alis yang berkerut, merasa detak jantungnya meningkat, sementara di sisi lain, Rinoa menatap Freya dengan tatapan penuh tantangan, tubuhnya sedikit membungkuk, siap untuk bergerak. Sementara itu, entitas kecil dari Gamma mulai menari dengan gerakan lincah, seolah menandakan awal dari sesuatu yang lebih besar. Keiran, terinspirasi oleh tarian itu, memimpin ritual baru dengan bahasa yang hanya bisa dipahami lewat mimpi dan rasa sakit, tangannya melambai lembut dengan gerakan yang elegan, seolah mengontrol aliran energi di sekelilingnya. Dalam pikirannya, Freya menyadari bahwa meskipun ia berjuang untuk Fitran, Rinoa memiliki takdir yang nyaris tidak terpisahkan dari dirinya. Sorot cahaya lembut yang mengelilingi Freya mencerminkan kegelisahannya, sementara bayang-bayang misterius menggelap di sekitar Rinoa, menandakan kebingungan dan determinasi yang kuat.

Belum lama berlalu, kedamaian yang seolah mengantarkan harapan tiba-tiba pupus. Dan di langit Atlantis—di antara awan dan menara—

Sebuah gerbang mulai terbuka, mengundang keajaiban dan bahaya.

Gerbang menuju dimensi di mana Gamma bukan hanya benua, tapi kesadaran yang menunggu untuk diingat kembali, memperlihatkan portal ke dunia lain yang penuh misteri. Freya merasa ditarik untuk menjelajahi, namun bayangan ketidakpastian dan ketidakpastian akan masa lalu menyelimutinya seperti kabut tebal, kulitnya merinding saat angin berbisik membawa aroma asing. Rinoa, dengan tatapan penuh harap yang bergetar, hanya bisa menunggu untuk melihat bagaimana pertempuran mereka akan berakhir, menguatkan sikapnya sambil mengedarkan tangan secara refleks, siap untuk tindakan yang mungkin akan datang.

Memory of HeavenWhere stories live. Discover now