0.2 | t h e j o u r n e y

291 5 6
                                    

The road is long

The path ahead us is no longer that long

Cause we had flown as swift as Peregrine

We had tried, at least, to shorten that way

Matahari bersembunyi di balik awan-awan yang bergumul kelabu, meresahkan perahu-perahu magenta melarung menaiki penumpang familiar agak kumal, perahu sejenis gondola dengan buritan yang lancip, namun haluan dibiarkan agak condong ke bawah, sebagai tempat berdirinya si pendayung andal.

"Evans, bisa kau tunggu disini sebentar! Aku harus bicara pada pendayung berbaju kuning tua itu disana!" Sergah bibi Maggy yang langsung menjauh mengecil di tepian kanal.

Aku mengangguk, meragukan ia sempat melihatku lagi atau tidak. Aku tenggelam dalam pikiran mengenai Ataraxia yang merupakan tempat persembunyian bagi para korban perang, tak kusangka rakyat pribumi masih memiliki tempat rahasia lainnya. Bahkan setelah kira-kira lima jam berada dalam pesawat komersil paling murah yang pernah kunaiki dan setelah perjalanan darat paling rumit yang pernah kulewati. Kami masih harus melarung melewati kanal-kanal keruh di sebuah tempat yang semula kupikir tak pernah ada.

Belum sempat kutemukan jawaban dari mengapa mereka sembunyikan sebuah tempat rahasia dariku. Seorang anak lelaki berbaju putih lusuh, berkulit agak kecoklatan dengan mata hitam bulat yang berkilauan, serta kotak kecil berisi mocky (Kue khas Ataraxia berbentuk bulat mini yang terbuat dari labu berisi cokelat meleleh didalamnya) yang ia genggam oleh tangan kanan kapalan di atas sudut saku celananya tiba-tiba mendekat membuyarkan lamunanku seperti buih-buih air di tepian.

"Mocky?" Tawarnya dengan senyum sumringah. "Satu lenny (mata uang Ataraxia; satu loon bernilai 10 lenny) saja untuk di perjalanan." Sambungnya tanpa ragu.

"Tidak, terimakasih."

"Aku jarang melihatmu ada disini. Siapa namamu?" Tanya bocah itu agak menyelidik sembari tetap mengeluarkan satu buah mocky. "Hanya satu lenny, ayolah!"

"Aku benar-benar tidak punya satu lenny pun." Jawabku agak kesal padanya.

"Benarkah? Hanya satu lenny saja!"

"Pergilah. Aku sungguh tak suka diganggu."

"Wajahmu sungguh asing! Siapa namamu?" Dahi bocah itu mengerut menanyaiku agak kasar.

"Evans Darwin."

"IMIGRAAAN?!" Raut wajah anak lelaki itu tiba-tiba memucat, ia berlari sempoyongan melewati barisan orang-orang yang berdagang, namun tak ada satupun yang berhasil ia tembus. Bocah itu berakhir menubruk Bibi Maggy yang langsung menyumpal mulutnya dengan kantung berisi loon.

"Jangan berisik. Sekarang pergilah!" Perintah bibi Maggy tegas. Membuat bocah lelaki itu meringis ketakutan tepat dibawah lututnya. Secepat kilat tangan bibi Maggy langsung menarikku menembus orang-orang yang berjubal disana-sini. Tubuh tua itu tak memperlambat laju larinya sama sekali, kami bergumul ditengah-tengah lautan manusia yang rendah menurut Ataraxia. Namun bagiku, melalui ratusan sorot mata asing yang penuh harap. Inilah tempat baru dimana pembagian kasta adalah barang langka yang fatal di permasalahkan.

Sempat terlintas di kepalaku untuk menanyai bibi Maggy perihal peristiwa tadi. Namun ku urungkan niatku saat semburat lelah terlalu jelas terlihat di wajah keriput itu.

"Akan kujelaskan, Evans!" Katanya pelan memecah sepi di atas perahu yang melarung terlalu cepat.

"Tempat apa ini?" Tanyaku agak terkejut, bibi Maggy seolah tahu apapun yang kuputar di dalam kepalaku.

"Kami kasta empat, tak akan pernah bisa berkembang di Ataraxia. Disinilah kami menciptakan sebuah tempat baru dimana kasta rendahan seperti kami bisa hidup layaknya manusia. Tempat ini adalah persinggahan, bisa juga dijadikan tempat tinggal dan berdagang. Tapi kebanyakan dari kami tak berani ada disini terlalu lama, itulah sebabnya perahu-perahu ini dibuat untuk memudahkan kami pulang-pergi dari Ataraxia ke Helsy- Begitulah kami menyebut tempat ini."

"Saking rahasianya tempat ini, hingga kau harus menyogok si pendayung dan bocah itu dengan sekantung loon?"

"Kau bukan warga asli Ataraxia, mereka cemas kalau-kalau kau adalah mata-mata dari kasta satu. Mengertilah!"

Semua itu memang kebenaran. Imigran sepertiku tak seharusnya ada di Ataraxia. Aku bisa membangun kehidupan yang lebih baik di Basker Avenue. Tapi suatu ketika wanita itu merubah segalanya, kehidupan Joanna yang mengejutkan di kampung halamannya dulu di tanah yang telah menjadi arena perang itu, seketika membangunkanku bahwa hidup menjadi sebatang kara masih jauh lebih baik dibanding memiliki satu ayah yang egois.

Segala tentangnya menyedot seluruh rasa penasaranku, membuatku mencari tahu setiap detail kehidupannya yang serba rahasia dan sepi, memaksaku menyesatkan diri pada lorong-lorong sempit yang menjadi bagian cerita dukanya yang kelabu, hingga akhirnya aku ada disini. Melarung sepi menuju bagian dari ceritanya yang lain, menuju lorong yang lain, menuju Joanna.

Kukira lorong itu semakin mendekat, kupikir setelah menjejakkan kedua kakiku yang lemas di depan gerbang tinggi yang terbuat dari batu keras hitam yang kokoh, ini adalah akhir dari perjalanan.

Rupanya aku keliru, disana berdiri seorang penjaga bertubuh kekar tak utuh, tangan kirinya putus setengah, wajah kerasnya penuh luka hasil tebasan pedang, ia memandangiku dengan sorot mata liar saat kami berhadapan.

"Evans Darwin?" Tanyanya kaku menginterogasi.

"Iya. Dia imigran, tapi dia bisa membantuku membebaskan Joanna." Bibi Maggy langsung menginterupsi meyakinkannya.

"Membebaskan katamu? Bicaramu terlalu tinggi Maggy!"

"Aku mohon Jack! Evans bisa melakukannya."

"Anak ingusan seperti dia hanya akan membawa masalah baru."

"Quidnunc bisa membantuku melakukannya. Mereka adalah kunci dari semuanya." Kataku lantang mencoba membuatnya sedikit percaya.

"Mereka lebih suka uang dibanding mendengar ocehanmu, bodoh!" Ia memukul kepalaku hingga aku terhuyung-huyung kebelakang. "Kalau begitu cepat pergi, pengadilan diadakan hari ini!"

Kalau saja ia tidak mengusir kami pergi, sudah kupelintir tangan kanannya yang normal. "Huh, terimakasih untuk pukulanmu."

"Terimakasih Jack." Bibi Maggy menimpali sambil berlalu menarik tanganku pergi menuju gerbang batu yang telah terbuka lebar.

Gerbang itu berderit keras saat membuka, bergetar hebat seakan gempa berskala agak kecil, kepalaku berdenyut-denyut seirama getarannya, namun saat mataku benar-benar terbuka. Disana terbentang jalan panjang lurus yang diapit pohon-pohon cemara hijau yang menjulang tinggi. Kabut menutupi pandangan di kejauhan, ranting-ranting pohon yang lebih tinggi seakan melambai-lambai. Tak bisa kupercaya, kasta rendahan menyembunyikan tempat semenakjubkan ini.

Namun yang lebih membuatku terperanjat adalah, adanya seseorang berdiri disana. Seolah telah lama menungguku, ia memakai sweater tebal bertopi, wajah tampannya putih pucat kedinginan, botol minuman tersembul didalam tas gendong yang ia pakai di atas dada. Tubuhnya tinggi semampai, jarinya-jarinya panjang terasah memetik senar-senar gitar. Ia menatapku tajam melalui bola mata hijau sendu itu. Ialah Michael Hozard, sahabatku yang hanya berdiri mematung.

"Cepatlah! Joanna akan dieksekusi!" Pintanya merana.

"Cepatlah! Joanna akan dieksekusi!" Pintanya merana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Safe and SoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang