XIII : KEY

1.9K 62 1
                                    

Aku terdiam, masih terkejut oleh pernyataan Jimmy. Apa yang ia pikirkan? Bagaimana mungkin ia mengatakan menerimaku setelah semua ini? Apa itu tulus dari dalam hatinya? Bagaimana aku tahu ini adalah yang sebenarnya dari dalam hatinya?  Lusinan pertanyaan seperti itu mengambil alih isi kepalaku.

Jimmy kemudian mengangkat matanya--memandangku. Meneliti ekspresiku. Ia meletakkan tangan kanannya di atas meja untuk meminta tanganku tapi aku menahan tanganku tetap di kaki gelas.

"Tidak Jimmy. Pilirkanlah baik-baik. Pertimbangkan sekali lagi. Aku tidak ingin terluka atau melukaimu nantinya. Aku tidak mau hidup dalam keterpaksaanmu. Kau tidak perlu bertanggung jawab atasku atau perasaanku."

"Itu tak akan terjadi padaku atau padamu, Anne. Aku janji. Kita bisa mencobanya perlahan-lahan. Aku hanya butuh kau jujur padaku. Mulai sekarang. Katakan apa yang kau rasakan atau apa yang kau pikirkan tanpa menyembunyikan apapun. Berbagilah semua hal denganku, tanpa menutupi satu hal apapun lagi." Ia mengambil tanganku dan menggenggamnya lembut. Meski begitu terlihat jelas emosi masih belum surut dari wajahnya. "Hatimu masih terikat oleh cerita masa lalu, aku terima itu. Tapi aku ingin kau membaginya denganku mulai sekarang. Lukamu..dan masa lalumu. Perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit. Sampai itu hilang sepenuhnya."

Aku tidak tahu karena sedih atau bahagia, tapi aku terisak. Apa yang membuat Jimmy melakukannya? "Mengapa?"

"Karena aku ingin mengerti. Memahami. Sudah ku katakan. Aku akan memperbaiki semuanya. Mengobatimu. Beri aku kesempatan itu, Anne."

"Tak ada yang bisa kau perbaiki Jimmy. Memperbaiki adalah untuk sesuatu yang rusak. Sedangkan aku..aku hancur. Didalam diriku."

Aku melepaskan tanganku darinya dan bangkit berdiri. Jimmy terdiam menatapku. Aku berbalik dan berjalan cepat keluar pintu. Aku merasa sangat rapuh. Dan takut. Dan terluka. Aku berakhir dengan melarikan diri lagi.

Diluar kafe, gerimis mulai turun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Diluar kafe, gerimis mulai turun. Aku terus berlari menembus hujan. Bahkan dinginnya air hujan takkan mampu menandingi rasa sakit yang kini melandaku.

Syukurlah ada sebuah toko kecil tak begitu jauh dari kafe. Aku berteduh di terasnya. Seorang wanita paruh baya yang duduk di belakang kasir di dalam toko menatapku keheranan. Aku tersenyum sopan kepadanya dan dia membalas senyumanku. Terang saja dia heran, seorang wanita kacau yang basah kuyup tiba-tiba berlari ke tokonya dengan kaki kotor oleh cipratan genangan air.

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas untuk menelpon entah itu shela atau icha atau siapapun. Aku tidak bisa pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini. Selain itu aku benar-benar butuh teman bicara saat ini. Icha mengangkat pada deringan ketiga.

"Halo?" Icha menjawab dengan sedikit lebih keras dari biasanya. Terdengar musik mengalun dari telpon.

"Cha, kau dimana?"

"Di studio. Ada apa?"

"Siaran?"

Dia Hujan dan Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang