Aimi POV

283 32 22
                                    

WARNING!

ISI SEDIKIT. Pokoknya gitu :')



Cinta...

Apa yang ku tahu tentang cinta?

Aku bahkan hampir lupa rasanya dicintai.

Bagaimana bisa, orang sepertiku merasakan cinta?

Bahkan, sampai detik ini, aku masih merasa asing dengan kata 'itu'.

Dari kecil, aku sudah dipersiapkan untuk ini.

Menjadi seorang ahli waris tunggal keluarga Guntur.

Mereka memang baik.

Segala sesuatunya telah dipersiapkan sampai ke hal terkecil pun sudah dipersiapkan.

Bahkan...

Kedatanganku ke Jepang ini hanyalah untuk mempelajari cara orang Jepang berbisnis, dan juga menghadapi pesaing terbesar yang berasal dari Jepang.

Tapi... tujuanku kembali ke Negara ini adalah untuk bertemu dengan teman lama.

Onizuka Aika, teman masa kecilku. Tetangga sebelah rumah saat aku kelas 4 SD.

Lalu... ada satu orang lagi yang ingin sekali ku jumpai, tapi entah mengapa, aku tidak bisa mengingat wajah dan nama lengkapnya.

Satu-satunya yang ku ingat darinya adalah... senyumnya.

Ya, senyumannya yang akan membuatku bisa mengenalinya suatu saat nanti.

Ku harap, aku bisa menemukanmu, sebelum semuanya berakhir...

Teman lama....

***

Hari ini aku merasa akan mati jika tidak segera berbaring di kasur empuk kesayanganku. Mungkin... jika aku bukan pewaris tunggal dari keluarga Guntur, aku tidak akan mengalami nasib yang sangat indah seperti ini. Terima kasih tuhan, setidaknya kau masih memberiku waktu untuk tidur.

Belum ada lima menit aku merebahkan tubuh di kasur, seseorang dengan kurang ajarnya sudah membunyikan ponselku dengan nyaringnya, "tahu gitu, ku matikan saja ponselnya," gerutuku sambil meraih ponsel yang kalau tidak salah aku letakkan di dalam tas sekolah, "moshi moshi," mungkin ini efek capek bercampur kesal saat ada seseorang yang mengganggu jam istirahatku, jadi entah sengaja atau tidak, aku menyapa si penelphone itu dengan judes. Siapa suruh, telephone orang malam-malam seperti ini. Memangnya mereka tidak punya kerjaan lain apa?

"Moshi moshi Mi-chan, jangan judes begitu dong," canda Takao yang sebenarnya sangat menyebalkan di telingaku.

"Ada apa?"

"Anooo... Mi-chan, apa aku sudah mengganggumu?" tanya Takao sedikit ragu yang sebenarnya ingin segera ku jawab YA! Dengan lantangnya, cuman aku tidak enak jika aku harus mengomelinya di tegah malam seperti ini. Bisa-bisa pelayanku datang semua ke kamarku kalau aku teriak malam-malam seperti itu.

"Kalau sudah tahu mengganggu, kenapa masih bertanya?" aku mendengus sebal setelah menjawab pertanyaan bodoh yang dikeluarkan dari mulut Takao barusan.

Oke Aimi, tarik napas... buang... huffttt... kalau ngomong sama bocah satu ini kayaknya aku butuh kesabaran tingkat dewa deh. Ingat Aimi, jaga sikap, jaga sikap, jangan sampai meledak-ledak.

"Mi-chan... apa kau mengetahui suatu hal mengenai... Zuka-san?"

Aku sedikit mengerutkan kening mendengar pertanyaan aneh dari Takao. Apa maksudnya coba? "hah?" akhirnya hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutku.

"Etooo... apa kau sudah tahu, kalau Onizuka itu suka sama Shin-chan?" entah mengapa, mendengar suara Takao barusan membuatku agak merasa kasihan terhadapnya. Maaf ya Takao, kali ini aku tidak bisa berbuat apa-apa.

"Ya," jawabku dengan singkat padat dan jelas, berharap dia tidak menanyakan hal yang aneh-aneh lagi.

"Jadi... kau sudah mengetahuinya sejak awal?"

Aduh... sepertinya malam ini aku tidak akan tidur karena curhatannya Takao yang akan membuatku melek sampai pagi. Aku heran, otot sebesar itu, kenapa bisa lemah banget sih sama cinta? Oke, sepertinya kali ini aku butuh kaca untuk menyadarkan diriku sendiri, kalau sebenarnya aku, Aimi Guntur, sang pewaris tunggal dari keluarga Guntur, ternyata juga lemah terhadap 1 kata pusaka yang disebut CINTA.

"Itu alasannya, kenapa dari awal aku tidak mau membantumu. Aku tidak mau kau sakit hati di kemudian hari," akhirnya, setelah sekian lama memenadam rahasia ini, akhirnya dia terkuak juga.

"Jadi... begitu..." terdengar helaan napas yang sangat berat dari seberang sana. Mungkin saat ini Takao sedang dilanda kekecewaan yang sangat mendalam, karena ia harus menerima kenyataan, kalau cintanya bertepuk sebelah tangan. Sabar ya, Takao.

"Mi-chan," ucap Takao setelah kami dilanda keheningan beberapa saat.

"Em?"

"Apa kau tidak apa-apa?"

"Hah? Maksudnya?"

"Zuka-san, dia menyukai Shin-chan. apa kau tidak apa-apa?"

Tunggu dulu. Kenapa Takao menanyakan hal ini kepadaku? Oh, atau, jangan-jangan...

"Aku tahu, dari kelas satu kau menyukai Shin-chan. benar kan?" tebakan Takao barusan seperti sebuah anak panah yang melesat tepat mengenai jantungku. "Apa kau baik-baik saja saat mengetahui-"

"Sok tahu," ketusku. Sebenarnya aku tidak bermaksud ketus terhadap Takao, tapi entah mengapa, aku merasa tidak sanggup mendengar lanjutan dari kalimat yang akan ia sampaikan padaku, "memangnya aku pernah cerita kalau aku suka pada si tsundere aneh itu?" cibirku yang sebenarnya jauh di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku sangat mencintainya. Biarlah aku mengutarakan kebohongan untuk saat ini. Toh, jika aku jujur juga tidak aka nada gunanya.

"Tapi-"

"Sudahlah Takao-kun, ini sudah larut malam. Sebaiknya kau tidur. Besok ada persiapan untuk panggung pensi kan?" buru-buru ku potong kalimat Takao, agar pembicaraan yang mengusik pikiranku selama berhari-hari ini segera berakhir, "persiapkan tenagamu untuk besok. Oyasumi nasai," tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung mematikan ponselku.

"Hah..." entah mengapa, pembicaraan barusan membuatku tidak berselera lagi untuk tidur.

Ku langkahkan kakiku ke pintu balkon kamar. Mungkin sedikit udara segar akan membuat kantukku kembali muncul. Ku buka pintu penghubung antara balkon dan kamarku itu hingga angin malam berhembus dengan lembut membelai wajahku. Semerbak aroma hembusannya membuat pikiranku sedikit rileks, tapi heningnya malam membuat dadaku terasa nyeri. Aku seolah sadar tentang kenyataan bahwa aku tidak akan pernah bisa memiliki pria yang aku sayangi.

Aku akui, ini memang terdengar sedikit egois. Tapi... bisakah aku memilikinya seorang diri? Tuhan seolah memberiku kesempatan kedua terhadap pria yang satu ini, tapi entah mengapa, dengan bodohnya, aku melepaskannya untuk orang lain.

Aku tahu, dia juga memiliki perasaan yang sama denganku, tapi... untuk kali ini, aku merasa akan kehilangan seseorang yang paling berharga jika aku terus mempertahankan egoku untuk memiliki Midorima. Aku tidak mau merasa kehilangan lagi. Cukup dia saja yang hilang dari hidupku, aku tidak mau kehilangan Aika lagi. Aku berharap, Midorima dapat merubah Aika menjadi gadis yang lebih baik lagi.

***

Love?Where stories live. Discover now