Masih di Apartemen Joshua...

1K 39 0
                                    

            Sadar, ini bukan film, aku tak mungkin bangun dari tidur dan tetap cantik seperti Putri Salju, mungkin saja di mataku masih ada... Arghh... aku mengucek-ngucek mataku. Dan saat terdengar langkah kaki mendekati pintu, aku berteriak untuk tidak masuk.

“Kenapa?” tanya Joshua heran dari balik pintu.

“Aku...aku...pokoknya jangan masuk!” jeritku.

“Bukankah kau lapar, biarkan aku masuk.”

“Ya aku lapar...tapi aku tak mau kau masuk”

“Kau sedang apa? Kenapa sih? Kau membuatku khawatir Puput”

“Namaku ME...LA...NI...”jeritku dan akhirnya Joshua memaksa masuk.

“Kenapa kau melarangku masuk ke kamarku sendiri?” suaranya agak meninggi melihatku yang tidak apa-apa duduk setengah berbaring di tempat tidurnya, ya, tempat tidur Joshua.

            Aku tertunduk lagi, malu, “aku belum mandi,” suaraku pelan membuatnya frustasi. Ya ampun, pria ini mudah sekali frustasi.

            “Jika aku memelukmu dalam keadaan tidak mandi, apa masalahku hanya sekedar membawakanmu makanan Puput?” Suara Joshua berat dan seperti mantra, kata memeluk, peluk, dan berpelukan terngiang-ngiang di kepalaku. Berputar-putar di otakku, keluar masuk telingaku, menyedihkan. Dan akhirnya kutarik selimut menutupi seluruh tubuh dan wajahku. Joshua berteriak frustasi, dan aku yang semakin malu di dalam selimut, selimut Joshua, tempat tidur Joshua, kamar Joshua, tempat tinggal Joshua. Huaaa...apa yang kupikirkan!

            “Habiskan makanmu!” tegasnya lalu terdengar langkah kaki menjauh, dan bunyi pintu yang tertutup. Kubuka sedikit selimut, memastikan tak ada orang lain selain makanan yang tersaji di samping tempat tidur. Perlahan aku bangun, dan pintu terbuka tiba-tiba. Membuatku membeku. Joshua mendekatiku, ditangannya terdapat sepasang baju, meletakkan baju itu di atas tempat tidur, lengkap dengan pakaian wanita,  dan mengambil piring makanan yang mau kuambil.

            Lagi, pipiku menghangat, Joshua sedang menyuapiku. Awalnya aku menolak disuapi, tapi...mimiknya seolah menunjukan dia sudah diambang batas kesabaran, dan akan berubah menjadi monster hijau yang akan menghancurkan kota. Tidak, aku tak mau dia menghancurkan kota tempat aku tinggal, menghancurkan kampus dan taman bunga di tengah kota yang sungguh cantik, akhirnya mulutku terbuka menerima suapannya, alasan lain adalah aku lapar.

            Sambil menyuapiku, dia menjelaskan bahwa baju yang dibawanya adalah milik adik perempuannya yang memiliki kelainan dalam belanja. “Baginya membeli bukan berarti memakai, shopholic sejati, maka kau tak perlu khawatir, semua baju ini baru, belum pernah dipakai sejak Christmas dua tahun lalu.”

            Pemborosan adalah kata yang ingin kuucapkan, namun mulutku terlalu sibuk mengunyah makanan yang memenuhi mulutku. Apa dia tidak lihat mulutku kecil? Dan dia menyuap makanan satu sendok penuh..! saking penuhnya sebagian jatuh ke piring.

            Kunyah, kunyah, kunyah sebisa mungkin. Kunyah, kunyah, kunyah, selama mungkin. Alisku berkerut, pipiku mengembung penuh, dan tetap kunyah, kunyah, kunyah. Aku tak percaya harus menghabiskan tenaga sebanyak ini untuk makan. Kulirik wajah Joshua, sudut bibirnya terangkat sedikit, alisnya naik, dan matanya tajam memperhatikanku. “Untuk gadis sepertimu, memiliki gelang dengan ornamen paku-paku kecil seperti itu sungguh extraordinary,” kata-kata Joshua disambut senyum kecilku, “itu bukan paku, itu pensil.”

            Satu sendok penuh lagi masuk kemulutku, aku lapar, dan entah mengapa rasa maluku hilang, aku hanya ingin menghabiskan makanan ini secepatnya dan pergi dari tempat ini. “Makanlah pelan-pelan, aku akan mengantarmu kerumah setelah kau mandi,” aku mengangguk pelan. “Dan mulai besok, kau akan ke kampus bersamaku, pulang bersamaku, jika sekejap saja kau menghilang, kau akan menyesal, kalau perlu, aku akan memborgol tanganmu denganku,”.

            Perkataan Joshua membuatku tersedak, aku batuk-batuk menyemburkan semua makanan yang ada dalam mulutku. Joshua mau membunuhku. Tak salah lagi. Hanya bermain peran bersamanya saja aku mendapat teror luar biasa, apalagi dengan selalu bersamaku, aku benar-benar berjalan ke tiang gantungan. “Adam, you wanna kill me!” suaraku terdengar sungguh lunglai. Sudah terlambatkah untuk menarik ucapanku bahwa aku seorang terdakwa? Kuharap tidak!

'G'Where stories live. Discover now