Pada usia 22 tahun, Mireia akhirnya belajar bahwa keheningan bisa lebih bising daripada teriakan mana pun.
Selama bertahun-tahun lamanya, ia mengira dirinya hanya tersesat—hanya seorang gadis yang terlalu lembut untuk dunia yang terlalu keras.
Namun malam itu, saat bayangan kamarnya meregang panjang di dinding, ia menyadari sesuatu yang jauh lebih menakutkan,
Ia bukan tersesat.
Ia ditinggalkan.
Bahkan oleh dirinya sendiri.
Ia duduk di tepi ranjang, jari-jarinya gemetar di atas layar ponsel yang sudah retak di sudut—retakan kecil yang ia hafal lebih baik daripada garis wajahnya sendiri.
Di dalamnya tersimpan ratusan pesan yang tak pernah ia hapus, beberapa penuh rayuan, sebagian besar berupa perintah samar, dan sisanya.. kebahagiaan sesaat.
Dan Adrian Soren Vale selalu pandai bersembunyi di balik kata-kata.
Cemburu yang berubah menjadi kendali.
Rindu yang berubah menjadi tuntutan.
Rasa sayang yang berubah menjadi penjara.
Dan Mireia—yang dulu pernah begitu cerah—belajar mengecilkan dirinya agar cukup berada di dalam dunia yang dipersempit Adrian untuknya.
Sekarang, hubungan itu sudah lama berakhir.
Namun aroma logam dari luka lama masih menggantung di udara setiap kali namanya terlintas.
Seakan masa lalu itu bukan sesuatu yang bisa ia tinggalkan,
melainkan sesuatu yang terus mengejarnya, berdiri satu langkah di belakangnya, bernapas di tengkuknya, menghantuinya.
Malam itu, ia mencoba berkata pada dirinya sendiri bahwa ia sudah terbebas dari bayangan itu.
Tetapi matanya berkaca-kaca ketika menyadari,
Bebas bukan berarti sepenuhnya sembuh.
Di ruang itu—rasa sepi, berantakan, tetapi jujur—Mireia akhirnya mengakui betapa ia telah kehilangan diri terlalu jauh.
Betapa ia telah belajar hidup tanpa suara hati sendiri.
Betapa selama bertahun-tahun, ia lebih tahu cara meminta maaf daripada cara meminta tolong.
Ia menutup mata, menarik napas lambat, dan mencoba mengingat kembali kapan terakhir kali ia merasa hidup dan bebas sepenuhnya.
Tetapi yang muncul hanyalah potongan-potongan kecil, tawa yang dipotong ketakutan, rasa cinta yang terasa seperti hutang, dan rumah yang lebih sering menjadi ranjau emosional baginya daripada tempat untuk pulang kembali.
Namun di tengah semua itu, ada satu bayangan lain.
Lembut. Tenang. Tidak memaksa.
Hadir seperti cahaya redup yang tidak meminta untuk dipercaya—hanya menawarkan tempat untuk beristirahat.
Ia tak tahu karakter sosok itu. Belum tahu.
Yang ia tahu hanyalah,
di antara riuh hancurnya masa lalu dan sunyi panjang yang menelannya hidup-hidup,
ada seseorang yang berdiri jauh di ujung kisahnya—diam, sabar, dan menunggunya selalu.
Seseorang yang kelak memanggil namanya seperti harapan yang tidak pernah memaksa untuk dijawab.
Mireia membuka matanya.
Dan seketika hening menyelimuti, tetapi bukan hening yang sama seperti yang ia selalu rasakan selama ini.
Untuk pertama kalinya, keheningan itu tidak terasa seperti hukuman dan penghakiman.
Tetapi terasa seperti permulaan baginya.
Dan di suatu tempat di luar jendela gedung pencakar langit—
di bawah langit malam yang merentang luas seperti rahasia dan penuh keheningan—
Lucien Caelan Jovantis menatapnya tanpa ia tahu, seakan ia telah mendengar pecahnya sesuatu yang tak terlihat.
Sebuah hati.
Atau mungkin... cinta.
***
To be continued.
YOU ARE READING
Letter L
General FictionIa pernah dicintai dengan cara yang melukai. Kini, seseorang datang dengan cara yang memulihkan. Ketika masa lalu kembali menuntut dirinya, Mireia harus menemukan keberanian yang tak pernah ia tahu ia miliki-untuk memilih cinta yang tidak membunuhny...
