“Hey, you stupid nephew,” suara Sophie tiba-tiba keras, “call your girlfriend right now. She’s dying in front of me.”
Aku pucat. “Mrs. Sophie!”
Dia mengacungkan jari: ssst.
Klik.
Sophie menurunkan ponsel, tersenyum nakal.
“See? Sometimes men just need a kick in their ass.”
Rrrr-rrrr.
Ponselku berdering.
Aku terdiam. “You’re insane, Mrs Sophie!”
“And you’re welcome,” katanya sambil kembali terjatuh di atas kasur.
“What's up? Are you okay?"
Aku menghela napas panjang sebelum menjawab, tubuhku terkulai lemas di sofa. Ada rasa lega yang tiba-tiba menyergap mendengar suaranya lagi.
"Oh... I'm just busy at work. Still in the office," sahutnya, datar seperti biasa.
"Hm, yeah. Understood."
"Really?" suaranya tiba-tiba rendah. "Then why did that crazy woman tell me ... you're dying?!”
Sebenarnya seharian ini kepalaku penuh dengan berbagai hal. Tapi anehnya, di saat seperti ini justru kecemasan itu perlahan menghilang.
"Mr. Louandre..."
Suaraku keluar pelan, hampir seperti bisikan.
Di ujung telepon, dia terdiam. Hanya hela napas beratnya yang masih terdengar.
"I was... scared," sambungku akhirnya.
"Scared?”
Aku menelan ludah. "Of losing you."
Tiba-tiba... di ujung sana, terdengar suara kursi mendorong yang kasar, diikuti langkah kaki cepat dan suara seseorang... mungkin sekretarisnya?berbicara dalam bahasa Denmark.
Lalu, suara pintu terkunci pelan.
Sunyi.
Seakan hanya ada kami berdua di dalam ruangan.
“Yesterday, I was drunk,” katanya akhirnya, suaranya serak dan pelan. “I think… I didn’t mean to say bad things.”
“I know you hate alcohol, Mr. Louandre.”
“I did.” Dia menghela napas panjang. “Even last night, the wine we drank... it was non-alcoholic. I checked. Twice.”
Tawa kecil lolos dari bibirnya, getir dan nyaris tanpa suara. “I just… wasn’t sure about my next plan.”
Ada jeda yang dalam, seolah dia berperang dengan kata-kata yang enggan diungkapkan. “Having a relationship...” suaranya pecah, “a real one, with all its commitments and chaos… it wasn’t in my plan.”
Aku menggigit bibirku.
Kata-kata itu seperti jarum halus—menusuk, tapi tak berdarah.
“You think I’d leave?” suaranya sekarang lebih dekat, lebih lembut, seolah dia memegang ponselnya erat-erat dan membisikkan kata-kata itu langsung ke telingaku. Dalam nadanya, terbaca sebuah kerentanan ... mungkin sebuah pengakuan yang menyiksanya.
“I don’t know…” aku menghela napas lelah, membiarkan semua kecemasan yang kupendam seharian itu terdengar dalam desahanku. “You disappeared. You didn’t answer a single call or text. And I thought... ”
suaraku hampir tersendat, “I thought that was it. That you had finally decided I was more trouble than I’m worth.”
“Mungkin kita butuh ruang untuk berpikir,” potongnya dengan suara lembut, tapi terasa seperti pedang yang menancap pelan di dadaku. “Some proper distance. Before we meet in France.”
YOU ARE READING
DEL'S DIRTY DRAFTS
Romance-Satu naskah. Satu pria. Satu riset yang kelewat nyata. What happens when your steamy draft is inspired by a man who hates being imagined naked?" Adela "Del" Hartono (24), penulis teenlit manis yang belum pernah pacaran, dipaksa menulis novel erotis...
