***
Lampu kuning temaram menyambut begitu pintu bar terbuka. Aroma bir langsung menampar—pahit, pekat, dan sama sekali bukan wewangian favoritku.
Musik live pop Denmark yang tak kukenal berdentum di sudut ruangan, bercampur tawa keras para pengunjung yang tampaknya sudah setengah mabuk.
Ehm, di Indonesia juga sama saja sih, kalau hari-hari tertentu, teman-teman kantor juga langsung bertransformasi dari pekerja kantoran jadi bintang club setelah jam 9 malam.
Tapi aku?
Aku lebih memilih menyendiri di kamar—menulis!
"Hei!"
Freja langsung melambaikan tangan, matanya berbinar menyambut kedatanganku.
"Don’t be shy! Sit here!" serunya sambil menarik kursi di antara Bu Widya dan Miranda.
"Drunk is not something big, you aren’t underage, right?"
Miranda menggodaku sambil menyeruput bir seolah-olah itu air putih biasa, disambung tawa Bu Widya yang lebar sekali.
"She was too innocent … but I like her as my secretary," tambah Bu dengan senyum nakal.
Oke, aku anggap itu pujian. Tapi no thanks untuk bir!
Aku sudah cukup membuat bencana hari ini tanpa harus menambah kemungkinan telanjang di depan Mr. Louandre???
HAHAHAHAAH.
Hufftttt!
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha menyadarikan diri! Sambil merapikan blazer pinjaman Bu Widya untuk menutupi noda kopi.
"Bir? Or ... ?"
"Nah, just plain water, mom!"
Jawabku tegas ke Bu Widya!
"Come on … aku Selasa sudah pulang loh," Bu Widya memancing dengan nada merengek, seolah-olah kepulangannya adalah hari nasional yang harus kuhormati dengan minum bir.
Dalam hati, aku sudah membayangkan bab memalukan di memoar hidupku:
"Adel, sekretaris asal Indonesia menari di atas meja sambil menjerit" — edisi foto berwarna, wajah merah padam seperti tomat busuk, tersebar cepat di ponsel para pengunjung bar.
"Hey!"
Suara itu sedikit tertelan dentuman musik. Seorang pria berwajah cerah berdiri di depan meja kami.
"How's my accidental drinking partner doing?"
Ia jelas mengacu pada insiden gelas ketukar malam itu.
"Hey … I'm doing great!" jawabku, mencoba ramah.
"Ron!" Bu Widya langsung menggerakkan jari telunjuk. "She will drink with us!"
Aku mendelik.
"Well, as my apology, I owe you one. Let me get Del something—food, drink, whatever she wants. My treat."
"No, no, thank you." Aku menggeleng cepat.
"Come on, just one drink!" teknisi LL company itu tetap ngotot. "Non-alcoholic, promise!"
Bu Widya merangkulku, membisik. "Dia sopan, sebenarnya … mungkin karena merasa bersalah malam itu."
"Ya, tapi aku enggak mau, Bu! Takut!" balasku, setengah berbisik.
Ron tertawa kecil karena aku masih bersikeras menolak, lalu menatapku sebentar lebih lama dari seharusnya.
"Suit yourself. But I’ll still make sure you eat something."
YOU ARE READING
DEL'S DIRTY DRAFTS
Romance-Satu naskah. Satu pria. Satu riset yang kelewat nyata. What happens when your steamy draft is inspired by a man who hates being imagined naked?" Adela "Del" Hartono (24), penulis teenlit manis yang belum pernah pacaran, dipaksa menulis novel erotis...
