Prolog

21 7 3
                                        

Seharusnya, dia tidak melihat kejadian itu. Kejadian tentang bagaimana ibunya menangis tersedu-sedu, meminta, dan memohon pada seorang pria yang bahkan tidak lagi melirik ibunya.

Pria itu lebih memilih untuk tetap fokus mengepak semua pakaiannya. Tanpa memedulikan rintihan istrinya yang tengah hamil tua. Indra pendengarannya seolah tuli, sekadar untuk mendengar ucapan dari istrinya. Beberapa saat berlalu, ketika dirasa pekerjaannya telah usai, akhirnya ia berbalik untuk menatap penuh ke arah istrinya yang terlihat memprihatinkan.

"Saya menikah denganmu bukan untuk hidup miskin, Lestari." Pria itu berjalan mendekat, hingga posisinya tepat berada di hadapan istrinya yang ambruk di lantai. Setiap kata yang keluar dari mulutnya benar-benar menyakitkan untuk didengarkan. Seharusnya, ia paham akan hal itu, tapi egonya telah berhasil mematikan sifat kasihnya.

Lestari mendongak, masih dengan air mata yang merembes membasahi pipinya, ia menatap tajam suaminya yang tak disangka bisa mengatakan hal jahat seperti itu. "Gila kamu!" umpatnya.

"Saya tidak pernah menyesal menikahi kamu, Lestari. Hanya saja, saya menyesal tidak menuruti perintah orang tua saya untuk tidak menikahi kamu!" Suaminya berkata tenang, pelan, tapi berhasil mengoyak hati Lestari ke bagian yang paling dalam.

Lestari termenung, paling tidak jika suaminya tak bisa lagi menjadi sosok suami yang mencintai dirinya. Apa tidak ada setitik rasa sayang untuk anak-anaknya? Kenapa begitu tega meninggalkan mereka?

"Bajingan kamu, Rama! Setidaknya, pikirkan anak kamu!" Lestari dengan perut besarnya mencoba bangkit, memandang tajam ke arah suaminya, lalu memukul pria di hadapannya dengan begitu membabi buta. Benar-benar tidak menyangka akan dikhianati sejahat ini. Dulu, pria itu pernah menjanjikan kebahagiaan di tengah pertentangan orang tua mereka.

"Saya tetap akan menyayangi mereka, Lestari. Mau bagaimanapun, mereka tetap anak-anak saya."

"Lalu kenapa kamu pergi, Rama!" raung Lestari, tubuhnya yang hampir ambruk untuk kedua kalinya ditahan oleh Rama. Lestari memandangnya nanar. "Kenapa? Ini bukan impian kita, Rama. Kamu bilang, kita akan menua bersama." Kedua tangannya terangkat membingkai wajah suaminya. Sekadar mengingatkan, sekaligus mengingat-ingat wajah seseorang yang memberinya cinta dan luka secara bersamaan itu.

"Memang ada baiknya kita dulu menuruti keinginan orang tua kita, Lestari," ucap Rama syarat akan nada putus asa dan iba yang menjadi satu. Ia masih menyempatkan diri untuk mendudukkan istrinya di ranjang kamar mereka, lalu duduk dengan bertumpu satu lutut sambil menggenggam tangan kurus Lestari, padahal wanita itu dalam kondisi hamil yang normalnya perlu banyak asupan gizi.

"Kalau kamu lupa, kamu yang meyakinkan aku akan memberi kebahagiaan, Rama." Wanita itu berkata sinis, di tengah rasa sakitnya ia masih mencoba membela dirinya dengan raut muka merendahkan ke arah suaminya. "Bahkan saat kamu mengajakku hidup jauh lebih buruk dari apa yang kamu janjikan, aku masih bertahan. Kenyataanya, kamu yang malah ingin pergi. Pria brengsek."

"Terserah kamu!" Rama mendengus kesal, tanggung jawabnya sebagai seorang pria seperti sedang diadili karena ucapan Lestari barusan. Ia tak lagi mengindahkan keberadaan Lestari yang masih menatap remeh padanya, dan lebih memilih untuk segera melangkah keluar dari kamar seraya menyeret koper.

Begitu sampai di ambang pintu, Rama menghentikan langkahnya. Matanya dengan jelas melihat sosok putranya yang tidak bersembunyi dengan benar di balik dinding. Ia menelisik lebih jauh, mata anak itu seperti sedang berbicara lebih banyak dari umpatan yang ibunya layangkan tadi. Rama pun menghela napas panjang, lantas berjalan lebih dekat.

"Kamu melihat semuanya?" Rama merunduk, mencoba menyesuaikan tingginya dengan sang putra yang masih berusia tujuh tahun.

Sayangnya, pertanyaan dari Rama tidak membuat pria kecil itu membuka suara, yang ada hanya sorot mata tajam yang tertuju tepat padanya. Rama tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. "Kamu ingin ikut Ayah?"

Anak itu menggeleng kuat, lagi-lagi membuat Rama hanya bisa tersenyum.

"Kalau begitu, jaga ibumu dan calon adikmu." Rama mengangkat tangannya untuk mengusap rambut hitam lurus itu, tapi putra sulungnya lebih cepat menepis dan bergerak mundur. "Kamu mendiamkan dan menolak Ayah?"

Begitu tidak juga mendapat jawaban, Rama mengangguk paham. Ia tersenyum kecut, kemudian menunduk lelah. "Bukan karena Ayah tidak menyayangi kalian, tapi Ayah hanya mengambil kembali apa yang seharusnya Ayah dapat jika tidak menikahi ibumu. Semoga kamu mengerti."

Benar, Rama memang sudah gila. Pria itu benar-benar tidak waras. Bagaimana bisa ia meminta pengertian putranya untuk keputusan gilanya itu? Meninggalkannya, meninggalkan ibu, serta calon adiknya. Sampai kapanpun, hal itu tidak akan pernah bisa diterima dan dibenarkan.

"Kamu juga tidak ingin peluk Ayah?" Rama masih mencoba menawarkan, merasakan rasanya ditolak, membuat Rama tak langsung memberi pelukan meski dirinya ingin.

Namun, untuk ketiga kalinya, ia lagi-lagi mendapat penolakan. Rama menarik napas guna melegakan sesak di dada, lalu bangkit dari posisinya.

"Satu hal yang perlu kamu tahu, Ayah akan tetap menyayangi kamu." Suara Rama nyaris pecah, tapi ia menahannya.

Selanjutnya, Rama benar-benar pergi. Ia tidak menoleh lagi. Yang tersisa hanya raungan tangis istrinya dan luka batin putranya.

***

BittersweetWhere stories live. Discover now