"Rasa ini tidak akurat dalam tulisanmu," bisiknya di sela-sela ciumannya yang menggila, napasnya panas di kulitku. "Kau tidak bisa bisa menulis tentang ini? Tentang bagaimana seorang pria terangsang?"
“A-aku … tidak tahu …”
“Tidak tahu?”
Dia mendorongku mundur hingga punggungku membentur dinding. Rasa dingin dari tembok kontras dengan panas tubuhnya.
"Tidak tahu?" Ulangnya seakan menantang, hingga matan hijaunya kian membara.
Mataku berkedip-kedip, berusaha melawan tatapan tajamnya yang mengikat. Jantungku berdegup kian sekali. Namun, di luar kendaliku, tubuhku justru menyerah pada sensasi yang membanjiri setiap saraf. Aku tahu, aku menikmatinya.
“Ya, Mr. Louandre…” lirihku.
“… ya?”
Tangannya terhenti di antara kami, seolah menahan sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak yakin ingin lepaskan. Aku menelan ludah, punggungku menempel erat pada dinding yang dingin.
Kepalanya sedikit menunduk, rambutnya jatuh di ujung dahi, napasnya berat—berat hingga membuat wajahnya yang biasanya dingin, kini memerah. Matanya turun, sekejap menatap celananya sendiri, lalu kembali terangkat, menancap ke mataku.
Seolah dia sedang mengukur setiap reaksi dan tarikan napas di antara getaran halus di tubuhku.
“Are you scared?” desisnya, serak.
Aku memanh gemetaran.
“I ... don’t ... know ...”
Dan dengan sisa keberanian yang kupunya, aku memutuskan untuk membalas—menyentuh bibirnya kembali, dengan caraku yang kikuk. Bukan ciuman penuh pengalaman, tapi ciuman penuh pertanyaan.
Dia mengerang berat, terkejut, lalu menyambut ciumanku dengan lebih lekat, lebih liar, seolah reaksiku adalah izin untuk melepas semua kendali yang tersisa.
"Why do you make me like this," gumannya di antara ciuman yang mulai berpindah ke garis rahangku, turun ke leher. "I am not … your Nathaniel.”
Setiap kata yang diucapkan diikuti oleh gerakan tangannya yang membuatku semakin gelisah dan bertanya-tanya.
“Aku sudah mencoba mengabaikanmu," desisnya.
Dia melengkung tanpa pernah memutuskan kontak fisik. Matanya yang hijau gelap memandangku dengan intensitas yang hampir menakutkan.
“Menarik. Kau menulis tentang Nathaniel yang nyetubuhi Cathy di atas kapal dengan berbagai posisi," katanya, hingga membuat telingaku terasa panas. "Tapi kau sama sekali tidak punya pengalaman bagaimana rasanya disetubuhi berhari-hari?”
Aku menelan ludahku, napasku kian mendidih. Ada sesuatu yang liar dalam matanya, sesuatu yang primitif yang memaksa menguliti Louandre keluar dari logika biasanya.
Tangannya masih bergerak, samar-samar aku sadar … dia berpacu di bawah sana. Aku menelan ludah ketika miliknya berdiri gagah dengan kilap di ujungnya.
Aku pun merintih, tidak bisa lagi berpikir jernih. Aku bisa menyerap dan menyaksikan dunia menyempit di ruangan ini. Gairahnya kini menjadi sensasi yang kian menguasai setiap serat tubuhku. Aku pun sudah menyerah …
“I like you, Mr. Louandre … i like you …”
"You are so annoying, Miss Hartono."
Tangannya semakin cepat, ciumannya semakin tak karuan.
Untuk pertama kalinya, aku bisa merasakan tubuh dan birahi seorang pria runtuh karena ulahku.
Desahnya parau seperti doa yang putus asa, bercampur dengan napasnya yang semakin berat dan tidak teratur.
Ciumannya berantakan, berpindah dari bibirku ke pipi, ke pelipis, seolah dia tidak bisa fokus pada satu titik, ditelan oleh sensasi yang mendekati sesuatu.
Aku bisa merasakannya—setiap ketegangan di tubuhnya, setiap otot yang mengencang, setiap gemetar halus yang dia coba kendalikan dan gagal. Tangannya lincah, di antara kami, gerakan yang putus asa dan terlatih sekaligus, sebuah kontradiksi yang sempurna untuk pria yang biasanya begitu terkendali.
“Look at me,” erangnya, suaranya berat dan penuh perintah.
Mataku tetap menatapnya. Aku menyaksikan wajahnya ... Ya, benar-benar melihatnya untuk pertama kalinya ....
Pria menawan ini
benar-benar lepas kendali. Dahinya berkerut, matanya yang biasa tajam menghunjamku kini tertutup setengah, bibirnya terbuka sedikit. Dia terlihat ... kesakitan sekaligus mempesona.
“See … what you do to me,” desisnya, dan untuk sesaat, gerakannya berhenti. Tubuhnya menegang seperti tali yang kencang urung diregangkan. Aku melihat pergulatan di wajahnya—pelepasan dan kendali, atau logika versus birahi.
Lalu, dengan erangan rendah yang berat … hampir seperti rasa sakit. Dia tersentak lalu aku merasakan ada sesuatu yang meloncat.
"Adela ..."
Kepalanya jatuh ke bahuku, napasnya tersengal-sengal panas di kulit leherku. Tubuhnya yang tegang perlahan-lahan lunglai, bersandar padaku dengan beban yang sepenuhnya percaya. Untuk beberapa saat, keringat berjatuhan, yang terdengar hanyalah napasnya yang berat dan debar jantungku yang masih berdetak kencang.
Diamnya terasa lebih keras daripada kata-kata apa pun.
Perlahan, dia mendorong dirinya menjauh. Mata hijaunya seakan redup ... Dia tidak menatapku. Dia menghindar, menatap lantai, dinding, apa pun selain aku.
Dengan gerakan cepat dan cekatan, dia membersihkan dirinya dan mengancingkan celananya. Rambutnya berantakan, wajahnya sudah kembali seperti topeng batu, tapi ada warna malu yang samar di tulang pipinya, dan dia tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan getaran halus di tangannya.
Kemudian dia mengambil napas dalam-dalam, dalam upaya yang jelas untuk mengumpulkan kembali semua kepingan kendali dirinya yang telah berhamburan.
“LORT ....”
Suaranya serak.
Dia berhenti, seakan hendak membersihkan tenggorokannya. “ Ini ... tidak seharusnya terjadi.”
Akhirnya dia menatapku, dan di balik dinginnya, seolah aku menangkap rasa canggung dan penyesalan yang bergolak.
Tanpa kata-kata lain, dia langsung membuka pintu …
Tiba-tiba, aku menyadari ... Apakah Mr. Loundre marah karena dia benar-benar terangsang? Tulisanku mempengaruhinya? Mungkin memang seharusnya aku tidak mengirim draft itu ...
“Mr. Louandre … aku … ”
Aku menahan jasnya.
“… Ini tidak akan terulang lagi,” sahutnya, masih tanpa melihatku.
“I am sorry,” bisikku.
"That's enough! You've pushed me too far, Miss Hartono! You have to stop!"
Dia merendahkan tubuhnya, mengambil beberapa tas yang tergeletak di dekat pintu. “Take this. I bought you chocolate.”
Aku menerima paper bag itu, merasa bingung dan hancur oleh kejadian yang baru saja terjadi. Kemudian, tanpa sebuah kata, meninggalkanku sendirian di ambang pintu, dengan aromanya masih menempel di udara, dan rasa kemenangan yang pahit-bingung-terbang di dadaku.
Dia telah menunjukkan padaku sisi paling liarnya, dan kemudian dia meninggalkanku dengan kalimat yang terdengar seperti perpisahan ... Ini tidak akan terulang lagi.
YOU ARE READING
DEL'S DIRTY DRAFTS
Romance-Satu naskah. Satu pria. Satu riset yang kelewat nyata. What happens when your steamy draft is inspired by a man who hates being imagined naked?" Adela "Del" Hartono (24), penulis teenlit manis yang belum pernah pacaran, dipaksa menulis novel erotis...
PART 30: DEVIATION FROM PROTOCOL
Start from the beginning
