Prolog

768 72 2
                                        

"Hapus." Suhu ruangan yang sudah begitu dingin itu tidak ada apa-apanya dibanding suara berat seorang pria berperawakan tinggi yang memecah keheningan dengan begitu datar.

Seorang wanita berdiri di seberang meja dengan bibir mencibir, seakan tahu benar bahwa pria di hadapannya itu tidak tahu apa-apa. Wanita itu menatap sang pria yang matanya masih terpaku pada layar tablet di tangannya, membedah draf yang baru saja diserahkannya.

"Hapus?" ulangnya dengan nada tidak percaya.

"Paragraf keempat, kalimat ketiga," sambut sang pria tanpa mengangkat wajah barang sedikitpun. "'Harapan bukanlah angka dalam statistik, tetapi detak jantung di dada para petani kita'. Hapus kalimat itu. Terlalu sentimental. Tidak efisien."

Rahang sang wanita sontak mengeras. Baru hari ketiga, tetapi setiap detik yang dihabiskannya di neraka itu terasa seperti iblis yang menggerogoti jiwanya. "Kalimat itu jantung dari seluruh pidato, Pak. Itu jembatan dari data yang Bapak punya dan hati mereka. Tanpa itu, pidato ini cuma presentasi bisnis. Sa--"

"Perasaan itu subjektif, data tidak," potong sang pria dingin. Ia akhirnya menampakkan wajahnya pada wanita yang masih berdiri di hadapannya itu.

Baskara Kamandaka Wibisono, bakal calon presiden termuda sepanjang sejarah politik modern Indonesia. Seorang yang begitu dibenci oleh sang wanita selama lima tahun terakhir, sekaligus orang yang menyeretnya tanpa pilihan ke neraka ini.

"Perasaan adalah liabilitas. Sentimen itu kemewahan yang tidak kita miliki saat ini."

"Liabilitas?" Sang wanita hampir tertawa, sebuah tawa hambar yang begitu mengejek. Amarah yang ia pendam selama bertahun-tahun tampak naik, mendidih ke permukaan. "Sekarang Anda bicara soal liabilitas, Pak Baskara?"

Dengan gerakan cepat, wanita itu menyambar tumpukan kertas yang sejak tadi ia letakkan di atas meja. Bukan draf pidato, melainkan hasil risetnya selama dua hari tanpa istirahat. Amunisinya.

Wanita itu mengangkat sebelah bibirnya, tersenyum miring. Ia lantas mengangkat kertas-kertas itu dari atas meja, dan dalam satu gerakan tegas membantingnya tepat di hadapan Baskara.

Lembar-lembar HVS itu berhamburan, beberapa melayang ke lantai. Di atasnya, tercetak tebal berita-berita dan hasil survei terbaru dari berbagai lembaga.

Pria itu tidak gentar, matanya tetap mengunci pada wanita yang sedang menantangnya tanpa ampun.

Wanita itu kemudian berseru dengan suara bergetar, "Ini!" Jarinya menunjuk kasar ke salah satu kertas yang mendarat tepat di depan Baskara.

Lembaga Survei Nasional: Elektabilitas Baskara Mentok di 32%, Terancam Gagal?

Wanita itu menunjuk kertas lain.

Head to Head: Publik Menilai Baskara Nirempati Dibandingkan Rivalnya

"Ini. Ini liabilitas Anda!" Sang wanita menopang tubuhnya pada meja kaca yang memisahkan mereka, lalu mendorong kertas lain.

Baskara Kamandaka Wibisono: Calon Presiden Muda yang Tidak Paham Anak Muda, Diprediksi Sulit Gaet Swing Voter

"Bapak tahu apa kata pengamat politik tentang Anda minggu lalu?" Wanita itu mendengus penuh ejekan. "Baskara Wibisono punya otak seorang jenius, tetapi tidak punya hati seorang pemimpin."

Keheningan kembali menyelimuti ruangan, kini lebih berat, lebih tegang.

"Itu," bisik sang wanita, suaranya kini serak karena marah. "Itu alasan kenapa saya ada di ruangan terkutuk ini. Itu alasan tim Bapak perlu repot-repot membayar saya dengan angka fantastis yang membuat saya mual. Bukan untuk menulis data yang sudah Bapak kuasai, tapi untuk menulis detak jantung yang tidak Bapak miliki."

Wanita itu menegakkan tubuh, merasakan sedikit kemenangan saat melihat kilat di mata Baskara.

"Saya rasa Bapak tidak butuh penulis pidato," pungkas Kiara dengan penekanan pahit. "Bapak butuh transplantasi hati."

Baskara tidak bereaksi selama beberapa detik. Ia tidak melirik kertas-kertas yang mengotori mejanya. Wajahnya tetap dingin, bahkan ketika kembali buka suara dengan nada rendah. "Ambil kertas-kertas itu, Kiara."

Kiara terpaku.

"Besok pagi pukul delapan," lanjut Baskara, "saya mau lihat draf baru di meja saya. Draf yang tidak sentimental, tapi juga tidak membuat saya terlihat seperti ... ini." Ia membuat gestur samar ke arah kertas-kertas di atas meja, satu-satunya pengakuan atas serangan Kiara. "Anda dibayar untuk menyelesaikan masalah, bukan untuk mengeluhkannya. Sekarang, keluar."

Kiara menatapnya, bibirnya terkatup rapat membentuk garis tipis, sementara matanya tajam menatap pria di hadapannya. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada pengakuan.

"Oh, soal nilai," ujar Baskara menginterupsi. "Anda yang dengan sukarela menggadai idealisme yang selama ini Anda bangga-banggakan, dan datang untuk bekerja di bawah saya. Jadi, Anda memang sudah menyedihkan," tutupnya.

Entah bagaimana kehidupannya setelah ini, Kiara tidak tahu pasti. Yang ia tahu adalah ia telah menggadai jiwanya pada iblis berbentuk manusia, dan harus siap dengan segala konsekuensinya.

___

TIBA-TIBA ISENG KEPIKIRAN NULIS PROLOG HAHAHAHAHA, SEMOGA MAKIN PENASARAN YA SAMA CERITA INI MESKI GATAU BAKAL MULAI RUTIN UP-NYA KAPAN😭😭😭

The Lines We WriteWhere stories live. Discover now