05 ; Puzzle piece

Start from the beginning
                                        

“Yaudah, Kak, nggak papa. Yang penting udah ketemu Naresh,” Shenina menyela cepat. Ia menatap Davin dengan senyum manis. “Makasih ya, Kak. Aku pulang bareng Naresh aja, udah mau hujan nih.”

Davin hanya mengangguk, sembari tersenyum tangan nya menggenggam tangan Shenina sekilas sebelum gadis itu sendiri melepaskannya.“Duluan ya, La, sampai ketemu besok,” ucap Shenina sambil naik ke boncengan Naresh.

Carla mengangguk kikuk.

Lalu mendengar suara santai Davin, yang lagi-lagi cukup mengejutkan untuk didengar dan masuk kedalam telinganya, “Hati-hati, Resh, Lo bawa cewek gue.”

Deg.

Kara membeku. Wait—what, kejutan apalagi ini?!

“Gue pulang,” ucap Naresh singkat melirik Carla, Shenina menepuk pundaknya dua kali, dan motor besar yang tadi memboncengnya itu pun melaju menjauh, berbelok meninggalkan jalanan komplek yang tampak meredup karena awan yang sudah mulai menggelap dan mendung.

Kini hanya tersisa Carla dan Davin berdiri tepat didepan gerbang rumah tingkat bercat putih.

Suasana mendadak awkward, mungkin tidak untuk Davin tetapi untuk Carla tentu saja awkward karena tidak tahu harus berkata apa di samping pemuda itu. Carla menelan ludah, lalu ia pun berbalik hendak membuka gerbang rumah putih di belakangnya—mungkin ini rumahnya, pikirnya.

Namun tas putih di punggungnya tiba-tiba saja ditarik.“Eh—eh, mau ke mana?” suara Davin terdengar menahannya.

E-ehhhh.... Carla menoleh dengan senyum kaku. “Mau masuk.” jawabnya seadanya.

Naresh nganterin gue sampe depan rumah ini kan? Udah pasti ini rumah gue, rumah siapa lagi... Pikir Kara.

Davin menghela napas, lalu melepaskan cekakan pada tasnya Carla. “Bunda belum pulang. Lagi jemput Kyara ke sekolah, bareng Ayah. Kata Leona kamu sakit, La?”

Ha? Bunda siapa?

Carla mengangguk pelan, mencoba menjawab dengan nada senatural mungkin dan biasa saja. “Iya, tapi udah sembuh kok.” Anggap dia gebetan Leona, gebetan Leona, gebetan Leona, mantranya pada dirinya sendiri.

Tangan besar Davin terangkat dan langsung menempel di dahinya, Carla menahan nafasnya sejenak tak bisa bergerak sedikitpun dengan serangan tiba-tiba Davin padanya saat ini. “Masih agak anget. Kalau kamu capek nyiapin festival Delexion, izin aja sama Pian. Jangan maksain diri. Bunda bisa panik denger kamu sakit lagi.” kata Davin.

Bunda siapa sih ini?! pikir Kara panik, tapi wajahnya berusaha untuk tetap tenang.

“Nggak kok. Kemarin udah istirahat di UKS. Besok juga udah fit lagi.” ucap Kara mencoba menjelaskan keadaan nya yang memang sudah baik-baik saja saat ini, kemarin ia hanya hampir strees dan cukup pusing memikirkan apa yang telah menimpanya, makanya ia sampai mumet dan pasrah saja mengikuti saran teman-teman Carla untuk beristirahat di uks.

Gadis itu pun mencoba membuka gerbang lagi, tapi Davin kembali menahan tangannya yang memegang pagar hitam rumah putih itu. “Dibilangin, Bunda nggak ada. Nanti aja kalau mau ke rumah.”

Carla menatapnya bingung. “Ha?”

Davin malah tersenyum melihat wajah polos Carla, ia pun menepuk kepalanya pelan. “Nanti kalau belum mendingan, telepon aja. Bunda pasti langsung dateng. Awas dulu laa, mau liat Toto.”

Ia mendorong gerbang putih itu dengan satu tarikan tangan besarnya saja, lalu memarkir motornya di halaman rumah tiga lantai di belakangnya. Carla hanya bisa melongo. Apa-apaan ini? Jangan-jangan ini bukan rumah gue? Maksud nya, rumah Carla.

Transmigrasi : The way..Where stories live. Discover now