"Mereka tetap tidak terima," lanjut Sisil, lalu terdiam sejenak. "Tak lama setelah itu... mereka ditemukan meninggal." Suaranya merendah.

Clara yang sejak tadi menatap Sisil kini mengalihkan pandangannya ke depan. Ia sudah tahu.

Satu tahun lalu, terjadi kasus bunuh diri sepasang suami-istri di apartemen mewah milik mereka. Yang membuat kasus ini menarik adalah—mereka adalah orang tua siswa yang ditemukan tewas di danau Stellar. Berbeda dengan kasus sang anak, kasus ini tidak ditutupi. Berita itu tersebar di televisi nasional, namun publik tidak tahu bahwa ada kasus lain yang kemungkinan terkait.

Setelah dinyatakan bunuh diri tanpa pelaku yang jelas, enam bulan kemudian, BIN menerima pesan dari nomor anonim. Pesan itu menyatakan bahwa kedua kasus tersebut berhubungan dengan SMA Stellar, dan sekolah itu menyembunyikan sesuatu yang lebih besar. BIN harus turun tangan.

Rapat darurat pun diadakan, dan akhirnya kasus ini diserahkan kepada Deputi IV—kepada Clara.

"Clara?"

Panggilan itu membuyarkan lamunannya. "Ah, maaf. Mendengar ceritamu membuatku banyak berpikir," ujarnya.

"Tidak apa-apa. Aku senang bisa berbagi cerita," jawab Sisil.

"Aku ingin mendengar lebih banyak tentang sekolah ini," kata Clara.

"Aku bisa saja... tapi kita punya tugas yang harus dikerjakan sekarang, bukan?" ucap Sisil.

"Ah, kau benar. Aku belum menyelesaikan tugasku," ujar Clara sedikit panik.

Akhirnya mereka kembali masuk ke dalam gedung.

***

Setelah mendapatkan ponselnya kembali, Calista harus mengantre untuk mengambil koper. Koper-koper grup A dibawakan oleh sebuah mobil muatan—ternyata usul Hana, agar mereka tidak perlu bolak-balik. Kak Hana memang bijaksana, pikir Calista.

"Setelah ini, pergi ke kamar yang nomornya tertera di koper, lalu kalian bebas mau ke mana saja," ujar salah satu anggota OSIS sambil menyerahkan koper Calista.

Calista mengangguk, lalu mengantre lift bersama Nao dan Diana.

"Cal, nomor kopermu berapa?" tanya Nao.

"405," jawab Calista.

"HAH, SERIUS?" seru Diana. Ia buru-buru meraih koper Calista, mencari angka yang dimaksud.

"OMG, kita bertiga sekamar!" teriaknya tak percaya.

"Serius?" Calista terkejut.

"Ya! Aku dan Diana juga 405!" Nao memegangi lengan Calista dengan antusias.

"Ini seperti red string theroy di novel-novel," gumam Diana.

"Ini takdir," kata Nao.

"SSSTTTTT, jangan berisik woy," tegur salah satu siswa.

Mereka bertiga baru sadar sejak tadi menjadi pusat perhatian. Untung lift segera terbuka. Mereka masuk sambil meminta maaf.

Sesampainya di lantai empat, mereka langsung mencari kamar 405. Ketika pintu terbuka, terlihat satu kasur tingkat dan satu kasur single, lengkap dengan tiga meja belajar dan lemari pakaian.

"Hey, buka dulu sepatu kalian!" ujar Diana dengan nada kesal.

Calista dan Nao buru-buru melepas sepatu mereka.

"Aku mau di sini," kata Diana, langsung duduk di kasur yang ia inginkan.

"Itu nggak adil! Aku juga mau kasur single itu!" Nao tak mau kalah.

Mereka berdua berdebat. Calista menarik nafas panjang—setidaknya ini lebih baik daripada harus berkenalan lagi dengan orang baru.

"Gimana kalau kita undi aja?" usul Calista.

Nao dan Calista langsung berhenti berdebat. Mereka saling pandang, lalu mengangguk setuju.

Undian pertama pun dimulai.
"Hompipa alaium gambreng!" seru mereka kompak.

"Yes!" Calista bersorak penuh semangat. Ia berhasil memenangkan kasur single itu.

"Hey! Kau curang, Calista!" tuduh Diana tak terima.

Calista pura-pura tidak mendengar. Ia langsung merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit sambil menarik napas panjang. Kasur ini... nyaman sekali, pikirnya.

Permainan hompipa berakhir dengan kekalahan Diana. Mau tak mau, ia harus tidur di kasur tingkat—tepat di atas tempat tidur Nao.

"Aku nggak suka ini..." rengek Diana, wajahnya cemberut.

Calista dan Nao hanya tertawa melihat ekspresi kesalnya.

BIP!

Suara notifikasi ponsel terdengar dari ketiganya hampir bersamaan. Mereka saling bertatapan, lalu menunduk memeriksa layar masing-masing. Sebuah ikon aplikasi asing kini muncul di ponsel mereka.

"Hah?! Apa-apaan ini?! Mereka masang aplikasi di HP kita?!" suara Diana meninggi, emosinya kembali memuncak.

"Bukankah membuka ponsel orang lain itu pelanggaran?" ucap Nao khawatir, sambil buru-buru membuka galeri fotonya untuk memeriksa.

Calista tidak bicara sepatah kata pun. Ia hanya membuka aplikasi itu. Layar putih muncul sebentar, lalu berganti menjadi sebuah menu yang membuatnya membeku.

Calista Sophia
Rank Harian: 60 (Enam Puluh)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 09 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CODE: REDWhere stories live. Discover now