7. System

4 0 0
                                        

Clara menyusul Sisil. Saat lift terbuka, ia buru-buru keluar dari gedung itu. Matanya menyisir sekitar, mencari keberadaan Sisil. Pandangannya akhirnya menangkap seseorang yang duduk di kursi pinggir jalan, menatap rombongan marching band, OSIS, dan para guru yang bersiap memasuki auditorium.

Clara menghampiri, lalu duduk di sampingnya. Ia ikut memperhatikan. Selang beberapa menit, rombongan itu masuk ke auditorium, diiringi sorakan meriah. Angin berhembus pelan, memberi rasa tenang untuk sesaat.

Tanpa ragu, Clara membuka percakapan.
"Apakah setiap tahun selalu semeriah ini?" tanyanya.

"Ya, sekolah ini selalu menyambut siswanya dengan baik," jawab Sisil, masih menatap gedung megah itu. "Tapi, itu semua hanya sementara." Kini ia menunduk, memainkan jari-jarinya.

"Kau benar, Clara." Pandangan Sisil beralih menatapnya. "Aku memang dimanfaatkan... seperti kacung." Ia menarik napas dalam. "Aku masih ingat, satu tahun lalu, aku sangat bahagia bisa bekerja di sini. Sekolah nomor satu di Indonesia—tentu membuatku bangga." Ia memandang langit. "Tapi itu tak bertahan lama. Hanya seminggu."

"Apa yang terjadi?" tanya Clara penasaran.

Sisil menatapnya lekat. "Seorang siswa ditemukan tewas di danau." Matanya kembali beralih ke jalanan. "Saat aku pertama masuk, MPLS sedang berjalan. Aku pikir, sistemnya sama seperti sekolah pada umumnya... tapi ternyata salah."

"Mereka membuat sistem MPLS dengan ujian. Code Red namanya. Ujian itu sangat kejam, Clara. Sebagai guru, aku tak bisa diam. Aku mendatangi ruangan Wakil Kepala Sekolah, meminta mereka menghentikannya. Tapi apa yang terjadi? Aku malah diberi tantangan."

Clara langsung teringat pada tantangan yang ia terima sendiri.

"Ia menantangku keluar dari hutan buatan dalam waktu 15 menit. Jika aku menang, MPLS itu akan dihentikan."

"Kalau kau gagal?"

"Kalau aku gagal... sistem itu tetap berlanjut. Dan aku gagal. Aku tak menemukan jalan keluar—aku tersesat. MPLS itu tetap berlanjut. Tapi itu belum berakhir. Sejak hari itu, guru-guru lain mulai menyuruhku ini-itu. Pekerjaanku semakin banyak. Lambat laun, aku sadar... ini semacam syarat tak tertulis dari taruhan itu. Aku tahu hierarki di sekolah ini sejak awal mendaftar. Tapi sejak saat itu... semuanya jadi lebih parah."

"Lebih parah?" Clara mengernyit.

"Ya. Lebih parah. Bukan hanya antar guru, tapi juga di antara para siswa. Banyak sekali kasus perundungan. Dan kasus-kasus itu diabaikan—sampai membuat beberapa siswa keluar dari sekolah dan menderita kecemasan."

"Bagaimana kau tahu?"

"Kau pikir, setelah kalah dari taruhan itu, aku akan diam saja?" Sisil melirik Clara. "Aku masih peduli pada siswa-siswaku. Kadang, aku mengumpulkan informasi tentang siswa yang keluar... lalu menemui mereka di rumah."

"Kau memang guru yang baik," ujar Clara sambil menepuk bahu Sisil.

"Aw, sakit," Sisil memegangi bahunya. "Lagipula... itu sudah menjadi tugas kita, bukan?"

"Lalu... apa yang terjadi dengan siswa itu?" tanya Clara.

"Ah, aku tidak tahu pasti. Dia meninggal, dan kasusnya langsung ditutup dari portal berita. Bahkan hanya guru, polisi, dan orang tuanya yang tahu," jawab Sisil.

"Orang tuanya tidak protes?" Clara bertanya lagi.

"Tentu protes. Orang tua mana yang rela anaknya mati mengenaskan seperti itu?" Sisil menghela napas, menopang dagunya. "Hari itu benar-benar chaos. Rapat besar-besaran diadakan. Tapi orang tua siswa itu... bukan lawan yang remeh, Clara."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 09 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CODE: REDWhere stories live. Discover now