“Ngapain lo ke sini lagi? Baju-baju sama tas yang lo beliin udah gue kirim balik ke apartemen lo. Tadi lo lupa bawa.”
“Kenapa mesti dibalikin? Itu semua udah jadi milik lo,” tanya Prada. Langkahnya mundur beberapa meter untuk menghargai pekerjaan Libra mengepel lantai. Meski sepatunya tidak sekotor mulutnya tadi pagi, Prada tahu batasan untuk tetap berdiri di tempatnya. Jaraknya tidak tergolong jauh untuk bisa bicara dengan Libra.
“Nggak layak aja pakai barang branded. Lagipula gue nyaman pakai baju yang lama,”jawab Libra.
Prada bersedekap. “Jadi … lo udah maafin gue?”
Libra tersenyum miring. “Siapa bilang? Nggak ada gunanya juga maafin orang kayak lo. Kalau dimaafin pasti lanjut part dua.”
“Gue beneran salah dan gue beneran tulus minta maaf sama lo, Lib. Lanjut part dua? Mana ada! Gue bahkan pengen amnesia karena udah berani ngomong gitu ke lo.” Prada menyangkal heboh. Bahkan, tangannya ikut terangkat untuk menambah kesan bersungguh-sungguh yang dramatis.
“Amnesia? Berarti lo tipe yang pengen lupain kesalahan terus berlagak nggak ngelakuin apa-apa, ya?”
“Ya Tuhan, sepertinya lo memang belum mau maafin gue, ya,” balas Prada merana. Tatapan lelaki itu kehilangan binar saat melihat Libra terang-terangan mengabaikannya. Barangkali memang benar, bahwa belum ada ruang maaf untuknya di hati Libra.
“Gue denger nyokap lo berkunjung. Sesuatu terjadi atau mama lo bilang sesuatu yang nyakitin?” Prada masih berusaha mengajak Libra terbuka dengannya. Kali ini sengaja menyebut wanita itu.
“Lebih nyakitin omongan lo, sih.”
Prada semakin yakin bahwa Libra berusaha menyembunyikan sesuatu darinya. “Hana ngechat gue.”
“Pasti nyuruh nengokin gue, kan? See? Gue baik-baik aja jadi lo bisa pulang sekarang.”
“Dia bilang buat mastiin kalau lo nggak ngepel lantai malam-malam.”
Gerakan Libra mendorong pel di lantai sontak berhenti. Genggamannya mengerat seolah dia terusik dengan kalimat Prada barusan.
“Katanya kalau lo ngepel malam-malam, lo lagi sedih.”
Benar saja. Bagaimana Libra merespons kata-kata Prada dengan sangat cepat membuatnya semakin yakin bahwa perempuan di hadapannya kini tengah menyembunyikan sesuatu. Soal pesan Hana, Prada tidak mengada-ada. Pesan itu baru saja diterima ketika Prada menaiki tangga menuju kamar kos Libra. Tadinya dia tidak percaya dengan peringatan Hana, tapi melihat sosok di depannya sesuai dengan deskripsi Hana, Prada semakin yakin bahwa Libra sedang tidak baik-baik saja.
“Entah kenapa gue ngerasa lo udah nggak begitu mikirin kesalahan gue. Ya, bukan maksud gue bangga diri karena lo maafin, tapi entah kenapa ada sesuatu yang bikin lo terguncang. Apalagi lo barusan ketemu sama nyokap lo. Beliau masih di sini?”
Libra melegakkan tenggorokannya dengan berdeham kecil. “Udah pergi. Dia nginep di rumah temennya.”
“Anaknya punya kosan yang bisa buat tidur dua orang, tapi milih nginep di rumah temennya?” Prada menatap penuh selidik.
“Bukan urusan lo! Mending lo pulang aja.”
Mengabaikan lantai yang setengah kering, Prada memajukan langkah. Dia hanya ingin melihat lebih jelas ekspresi yang sedari tadi terus-menerus Libra sembunyikan. Memang dia tidak masalah kedatangannya tidak disambut baik oleh Libra, tapi lelaki itu merasa bahwa sikap Libra kini memantiknya untuk menyelami lebih dalam sikap dan perilakunya. Terlebih dia percaya dengan omongan Hana, bahwa Libra sedang sedih.
VOCÊ ESTÁ LENDO
Coquette Noir [END]
Romance(Completed) *** Kerja sampai tipes sudah Libra alami, tapi mamanya selalu tidak tahu diri. Sehingga begitu penawaran yang seperti angin segar datang padanya, Libra tidak ragu mengiyakan. Sekalipun dia harus berurusan dengan anak konglomerat prik ber...
21 | ALGORITHM LOGIC
Começar do início
![Coquette Noir [END]](https://img.wattpad.com/cover/372960804-64-k266574.jpg)