5. (Code ) Unclosed

Start from the beginning
                                        

Suasana jadi hening. Clara tak tahan dengan kekakuan itu, lalu bertanya, "Pak, apa langkah selanjutnya?"

"Pertama, soal dokumen. Terdiri dari Kartu Keluarga, KTP, Sertifikat Pendidik, dan fotokopi ijazah serta transkrip nilai." Ia jeda sebentar. "Semuanya ada di Erick."

Erick merespons dengan tangan kanan menggenggam setir erat, lalu menjulurkan tangan kiri ke konsol tengah.

Klik.

Laci kecil terbuka. Ia menarik satu map dan menyerahkannya ke Clara. "Nih."

Clara langsung memeriksanya.

"Bukankah ini aneh?" tanya Erick. "Kenapa sekolah baru minta dokumen ini setelah mereka sahkan Clara jadi guru?"

"Aku juga tidak tahu," Orion menghela napas. "Dugaanku, dokumen Clara akan ditahan sekolah sebagai bentuk kontrol, jaminan agar dia tidak macam-macam."

"Itu ... manipulatif sekaligus cerdik," sahut Clara.

Erick mengangguk setuju.

"Ya, karena itu, kalian harus ekstra hati-hati. Aku butuh dua orang supaya kalian bisa terus berkomunikasi di luar lingkungan sekolah."

"Aku mengerti," jawab mereka serempak.

"Kalau begitu, aku tutup teleponnya."

Suara Orion menghilang. Erick memasukkan kembali ponselnya ke saku.

Suasana kembali hening. Clara berusaha sibuk sendiri, mengaplikasikan make-up lalu menyemprotkan parfum Chanel Coco Mademoiselle.

Wangi khas memenuhi seluruh kabin.

Erick sempat melirik. "Jadi, kau masih pakai parfum itu?" tanyanya dengan nada lebih lembut.

Clara tidak langsung menjawab. Ia menatap wajah Erick. Ia baru melihat wajah Erick yang tampak lesu, dengan kantong mata yang besar.

"Kau sakit?" tanyanya akhirnya.

"Ah, enggak. Mungkin cuma kurang tidur," jawab Erick santai.

"Sudah kubilang, jangan memaksakan diri saat menangani misi," Clara tampak khawatir.

"Kau nggak perlu khawatir, Clara," Erick tersenyum tipis. "Justru kau yang harus jaga diri."

Clara diam. Hening kembali. Tak tahan dengan suasana itu, ia menekan tombol di dashboard untuk menyalakan musik.

Erick melirik panik. "Eh, tunggu—"

Terlambat.

All Too Well (10 Minute Version) dari Taylor Swift sudah terputar.

"Erick, kau masih sering memutar lagu ini?" Clara tampak terkejut sekaligus senang.

"Ah... I-iyalah," jawab Erick, agak grogi.

"Itu lagu favoritku," Clara tersenyum cerah.

Erick menatap sekilas. Ada rasa lega karena Clara tidak marah, tapi juga sesak ... karena tahu mungkin Clara benar-benar sudah move on—dan tidak ada lagi 'mereka'.

Setelah perjalanan yang terasa lama bagi keduanya, mereka akhirnya sampai di SMA Stellar.
Clara memperhatikan banyak murid baru yang diantar oleh orang tua mereka. Beberapa wartawan tampak sibuk mengumpulkan informasi.

Mobil itu terus melewati pagar sekolah, melewati bundaran dan berbelok ke kiri. Di kejauhan, terlihat kerumunan siswa baru dan beberapa anggota OSIS.
Clara memperhatikan dari balik jendela—dua siswi berdiri di tengah kerumunan dengan pakaian yang kotor oleh debu. Mungkin mereka jatuh bersamaan? pikir Clara.

Mobil perlahan merayap ke arah bangunan di sebelah—Gedung A. Ban mobil berhenti di bahu kiri jalan.

"Kita sudah sampai," ucap Erick pelan sambil menekan pedal rem. "Ingat, kita akan bertemu setiap minggu pukul empat sore di tempat parkir itu," katanya, menunjuk ke arah seberang.

"Ya, aku mengerti," jawab Clara sambil mengenakan kacamatanya dan bersiap membuka pintu mobil.

"Clara," panggil Erick pelan. Clara menoleh.

"Hati-hati," ucap Erick tulus.
Clara mengangguk dan tersenyum, lalu keluar dari mobil, meninggalkan Erick yang masih menatap punggungnya.
Setelah Clara menjauh, Erick kembali menekan pedal gas dan memutar arah, keluar dari area SMA Stellar.

Clara terus melangkah masuk ke dalam gedung. Ia disambut oleh para penjaga—seolah kedatangannya memang telah dinantikan.

"Bu Clara?"

"Iya, Pak."

"Baik, saya akan mengantar Ibu ke ruangan wakil kepala sekolah."

Clara mengangguk dan mengikuti dari belakang.
Lantai satu gedung itu merupakan ruang rapat yang sangat besar. Bukan hanya besar, tapi juga mewah.
Beberapa lukisan terkenal menghiasi dinding, dan salah satunya langsung menarik perhatian Clara—School of Athens karya Raphael, seniman Renaissance Italia.

Mereka menaiki lift menuju lantai dua.
Lantai ini tampak lebih sederhana, tetapi tetap terlihat elegan. Ini adalah area ruang guru.
Mata Clara menelusuri semua ruangan—mengamati dan merekam.
Para guru tampak sibuk dengan urusan masing-masing, dan tak satu pun yang memperhatikan kedatangannya.

Akhirnya, mereka tiba di ruangan wakil kepala sekolah. Letaknya cukup jauh dari lift—di ujung lorong.
Tapi... di mana ruang kepala sekolah? batin Clara.

Tok ... tok ... tok ...

Terdengar sahutan tegas dari dalam.
Penjaga itu membukakan pintu. Dari celah yang terbuka, Clara bisa langsung melihat sosok wanita berusia empat puluhan sedang menandatangani dokumen.

Petugas itu sedikit menundukkan kepala. "Mohon maaf mengganggu, Ibu Nattaya. Ini Clara, guru baru sekolah ini."

Nattaya tidak menjawab. Ia tetap fokus pada pekerjaannya.

"Saya izin pamit."
Mengerti, penjaga itu segera meninggalkan ruangan dan menutup pintu.

Atmosfer ruangan mendadak terasa dingin.
Clara tetap berdiri di tempat, menunggu disuruh duduk.

Lima menit berlalu.
Hanya suara goresan pena dan detik jam yang terdengar di ruangan itu.

"Clara Melia," ucap Nattaya sembari mendongak—dokumennya telah selesai.

"Ya, Ibu," Clara menunduk sopan.

Nattaya menatap wajah Clara dengan ekspresi datar.

"Silakan duduk," katanya.

Clara mengangguk, baru hendak menarik kursi—

"Tapi sebelum itu, lepaskan kacamatamu,"
Nattaya tersenyum tipis, namun sorot matanya tajam.

CODE: REDWhere stories live. Discover now