Setetes cairan bening jatuh dari pipa tua, sebuah lorong tua sempit dengan pencahayaan yang minim. Beberapa bolham tua berayun pelan bak ayunan, hawa dingin perlahan berbisik, seolah membisikkan rahasia yang terpendam.
Suhu menusuk kulit hingga tulang pun ikut ngilu. Dari ujung lorong sesosok berjubah hitam legam muncul, kakinya bergerak pelan bersamaan suara tapakan beraturan. Langkah yang terkesan tenang, sosok misterius itu melangkah bersama wajah yang tertutup tudung.
Di tangannya menggenggam sebuah benda logam yang berlumuran cairan merah pekat, setetes cairannya tak berhenti jatuh melewati bilah tajam benda logam itu.
Dinding terdiam, menutup mulut rapat-rapat supaya tak terdengar, membiarkan suara tapak demi tapakan yang beraturan yang berbicara. Dinding itu menyimpan banyak rahasia, begitu juga hawa dingin yang ikut terperangkap.
Sosok itu terus berjalan,kesunyian menyambutnya dan hawa angin dari arah ujung berhembus pelan membuat bulu kuduk siapapun dapat berdiri. Namun tidak dengannya. Langkahnya tenang, ibarat genangan air tanpa guratan.
Ketenangannya menyembunyikan banyak hal, kesunyian tanpa emosi sosok itu terus melangkah menyusuri lorong sampai sebuah suara keras tertangkap olehnya. Bukan hanya itu, suara samar seperti teriakan manusia ikut didengarnya.
Sekilas ujung bibirnya menyeringai dari balik tudung yang hampir berbaur dengan gelapnya malam. Ia memiringkan kepala, senjata yang ia pegang dibawanya ke depan, mencium darah yang berjejak.
"Ketemu."
Di sisi lain, dari arah lorong selatan, suara tapakan sepatu itu terdengar cepat seperti drum. Dinding itu masih diam membiarkan suara tapakan bercampur letusan senjata api menggema.
"Hah... hah...." Suara deru nafas yang memburu, sesosok pria dengan kemeja putih lusuh dan kotor terkena tetesan darah itu berlari tertatih sembari memegang kuat lengannya.
Dahinya berkerut, ujung bibirnya tertarik seiring ringisan keluar dari bilah bibirnya. Keringat bercucuran membasahi kemeja lusuh itu, wajahnya yang rupawan itu tampak mengenaskan dengan cairan merah pekat mengalir dari sisi kanan dahinya.
Jantungnya berdetak semakin kencang, dari arah belakang telinganya menangkap getaran suara sepatu yang mendekat kearahnya. Kakinya yang terasa lemas itu terus ia paksakan berlari, tak menghiraukan rasa panas di lengan atau denyutan di dahinya.
Ia terus berlari di koridor sempit itu tanpa mau menoleh ke belakang. Tekanan di dadanya semakin menjadi-jadi, detak jantungnya semakin tak karuan dengan nafas yang terengah-engah.
Di belakangnya, sekelompok orang berpakaian hitam, lengkap dengan senjata api berupa pistol digenggam erat mereka sembari berlari. Suara keras dari benda logam itu terus saja menggema membuat sosok pria yang dikejar sesekali menunduk.
"Kejar dia! Jangan sampai lolos!"seruan itu memberi titah. Sekelompok orang itu tanpa gentar terus melangkah membawa senjata, mengejar pria yang tertatih hampir sekarat itu.
Luka itu ternganga lebar, denyutan kuat dikepala perlahan membuat pandangannya memburam. Pria berkemeja lusuh itu terus berusaha berlari kencang, ibarat seekor rusa yang tengah menyelamatkan diri dari sergapan para singa.
Ia tidak boleh tertangkap. Ia harus tetap hidup, demi seseorang yang sedang menunggu maaf darinya. Namun naas, seketika tubuhnya menegang begitu saja saat sebuah suara tembakan menggema.
Tubuh itu seketika melemas, kedua kakinya tidak dapat bertumpu hingga akhirnya ia jatuh begitu saja dilantai. Kedua mata itu yang tadinya membola kini perlahan memburam, cairan bening semakin menggenang banyak, mengalir begitu saja dari pelopak matanya.
Rasa panas dan nyeri menyeruak jadi satu, terasa sakit hingga ia bisa rasakan cairan merah pekat berlomba-lomba keluar dari perut kirinya.
" Ti-tidak." Ujarnya sebelum gejolak dari perutnya membuncah, membuatnya mengeluarkan cairan merah yang cukup banyak dari mulutnya.
"Tangkap dia!" Setelah titah itu terdengar, sosok pria berkemeja lusuh itu kini diangkat oleh dua orang lelaki berbadan tegap berpakaian hitam itu. Ia diseret menuju tempat yang tidak ia ketahui.
Pria itu masih menunduk, tidak punya kekuatan untuk sekadar memberontak ataupun bergerak. Tubuhnya perlahan matirasa, darah semakin berlomba-lomba keluar dari tempat persembunyiannya.
Dalam keadaan setengah sadar, ia menyungging bibirnya tipis, menyadari ia tidak punya waktu lagi untuk bertemu.
" Maaf...." Ucapnya pelan tak bersuara, denyutan di kepala semakin menjadi hingga kegelapan pun mulai menguasainya. Namun...
Suara tebasan benda tajam menyalipnya dengan cepat, matanya terbuka sayu seketika membelalak, menyaksikan sosok berjubah hitam legam itu bergerak gesit menusuk dan menggorok leher mereka.
Tubuhnya yang tadinya ditopang ikut jatuh, berlutut di depan sosok itu. Hawa dingin di sekitarnya berbisik seakan memperingatkan. Dari balik tudung sebuah wajah dengan goresan lebar yang melewati mata kanan nya terlihat.
Bolham tua di ruang itu ikut menyorot penasaran, samar-samar tapi pasti pria berkemeja putih lusuh itu menatapnya tercengang.
" Ka-kau..?" Suaranya tercekat, tubuh yang tadinya terasa lemah seketika menemukan kekuatan kembali. Sosok berjubah itu seketika bergerak secepat kilat, mengambil posisi berjongkok sembari menaruh senjata tajam nya ke leher pria itu.
Tubuhnya menegang, setetes demi tetesan cairan merah pekat turun mengenai kulitnya. Matanya bertabrakkan dengan sosok bermata biru, wajah itu familiar, mirip dengan orang pernah ia kenal sebelumnya.
Wajah yang pernah mengisi masa kecilnya. Wajah dari bocah yang dulu sering tertawa dan tersenyum riang. Sosok itu sudah termakan waktu, ia tumbuh dengan cara yang tidak biasa. Obat-obatan dan luka, baik fisik dan mental sudah menjadi makanan sehari-harinya.
Kini yang pria itu temukan hanyalah wajah dingin nan tenang namun kejam, persis seperti dunia yang ia tinggali sekarang.
"Jangan ikut campur atau kau akan mati," ucapnya datar dengan suara menekan, bilah yang tajam semakin di dorong mengenai kulit pria di depannya. Bukannya takut, pria yang mendapat ancaman sontak terkekeh, menarik ujung bibirnya menyeringai.
"Kalo aku mati, itu pilihan ku," sahutnya tenang tak kalah menantang, ia menyeringai sembari melihat goresan luka di wajah dan bola mata yang tampak tak normal itu.
Sosok itu diam, tidak menyahut. Bilah pisau itu semakin dia tekan, menekan kulit hingga cairan merah yang bersembunyi di dalamnya ikut menyembul keluar.
Pria itu meringis, bilah tajam itu berhenti di tempat lalu ditarik lagi, membiarkan cairan merah pekat berlomba-lomba keluar dari luka sayatan itu. Pria bertudung itu diam, melayangkan tatapan datar yang samar dari balik kain hitam legam itu.
Ia pun berbalik, namun tidak beranjak. Suara datar khas miliknya kembali mengudara, membuat sosok pria berkemeja putih itu kembali terkekeh menyeringai.
"Pintu keluar, arah jam tiga,"
"Bergegaslah sebelum kau mati konyol di sini," ujar sosok itu dingin.
"Hah, Sialan! Jangan bertingkah seperti pahlawan, bodoh!" Ujarnya sarkas. Sosok itu sudah berlalu begitu saja, menembus kegelapan bersama senjata andalannya.
Pria berkemeja lusuh itu berdecih mulai berjalan tertatih. Dalam keheningan, suara nafas yang terengah-engah menggema pelan. Kakinya ia paksakan berjalan menuju pintu yang di maksud tadi.
Sesampai di luar, belum sempat pria itu menghela nafas, namun tiba-tiba...
DUAR!
Ledakan yang tak terelakkan, tanpa kesiapan pria berkemeja lusuh ikut terlempar bersama puing-puing bangunan di belakangnya.
Bersambung...
YOU ARE READING
Just For Us ( Revisi )
FanfictionForgive Me, Please! remake story Sebagian besar alur cerita berubah. Cerita ini akan menguras emosi. Hati-hati dalam membaca. "Hanya untuk kita, bang. Aku rela melakukan apapun itu. Bahkan jika harus jadi monster sekalipun." . "Aku membencimu,dasar...
