TERA- PROLOG

58 23 2
                                        

Raka menatap senar gitarnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Lampu temaram di atas panggung kecil membuat wajahnya nyaris tidak terlihat jelas. Raka menyender di kursi tinggi, gitar akustik dibiarkan berada di pangkuannya. Di depan panggung kecil kafe itu nyaris kosong. Hanya ada tiga pengunjung yang sibuk dengan ponselnya.

"Selamat malam... untuk kalian yang masih setia berada di tempat ini," katanya ke mikrofon, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. 

"Lagu ini buat kalian yang merasa dunia sedang tidak berpihak dengan rencana dan mimpi-mimpi kalian," lanjutnya, masih dengan gaya santai.

"Kalau kalian nggak relate, berarti hidup kalian terlalu aman."

Petikan gitar mengalun. Lirik mulai dinyanyikan—tentang harapan yang digantung, tentang perjalanan hidup yang tidak pernah jelas ujungnya. Tapi dibawakan dengan nada ringan, seakan semua luka itu hanya bagian dari lelucon hidup.

Hingga lirik terakhir selesai, tak satu pun tepuk tangan yang terdengar. Sunyi. Hanya ada sendok yang bersentuhan dengan gelas berisi minuman setengah habis. Sama seperti biasanya. Ia bernyanyi, menuangkan rasa, tapi berakhir tanpa tepuk tangan. Hanya keheningan yang menjemukan, seperti biasanya. Mungkin suaranya memang biasa saja. Mungkin lagunya terlalu jujur untuk disukai. Atau mungkin—ini yang sering ia pikirkan—orang-orang memang lebih suka lagu cinta klise yang bisa dijual, bukan kisah lelah yang ia tulis saat jam dua pagi.

"Terima kasih," ucapnya, meski tidak yakin apakah ada yang benar-benar mendengarkannya. Raka melepas gitar dan meletakkannya perlahan di samping kursi. Saat hendak turun dari panggung kecil itu, suara nyaring terdengar dari sudut ruangan.

Seorang perempuan berhijab, duduk sendiri dengan laptop terbuka dan headset tergantung di leher baru saja memecahkan gelas minumannya. Wajahnya memerah. Ia tidak sedang iseng, apalagi ceroboh. Matanya sempat bertemu dengan mata Raka—sebentar saja. Tapi cukup membuat langkah Raka terhenti sepersekian detik. Perempuan itu tampak malu, mungkin karena mencuri perhatian di momen yang seharusnya bukan miliknya. Tapi yang Raka rasakan justru bukan itu.

Dia merasa... Untuk pertama kalinya malam itu, seseorang benar-benar melihat.

Raka turun dari panggung tanpa berkata apa-apa. Raka hanya tersenyum tipis, setelah sekian lama—akhirnya ada yang bereaksi terhadap suaranya. Meskipun hanya suara pecahan gelas tapi itu lebih baik daripada tepuk tangan meriah yang tidak pernah ada.

"Masih sama," gumamnya, setengah bosan, setengah pasrah, sambil berjalan menuju pojok kafe—tempat di mana ia biasa duduk setelah tampil. Ia membuka tutup botol air mineral, meneguk sedikit, lalu menghela napas panjang. Rokok di tangan, menyala tanpa semangat. Matanya kosong, tapi dalam pikirannya, lagu-lagu terus berdengung. Ide-ide terus datang, meski tidak ada yang benar-benar mau mendengar.

Dia tahu suara vokalnya bukan yang terbaik. Dia tahu lirik lagunya terlalu dalam buat orang-orang yang Cuma butuh hiburan ringan. Tapi tetap saja, Raka tidak bisa berhenti. "Kalau ini gagal, ya udah. Tapi kalau berhasil?" Itulah yang selalu ia tanamkan pada dirinya hingga dirinya selalu melihat ada secercah kemungkinan di masa depan.

Salah satu personel band menghampiri. "Nggak usah dimasukin hati, Ka. Biasa. Kita emang bukan tipe band yang bikin orang joget."

Raka tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Dia tahu temannya juga mulai lelah. Satu persatu dari mereka mulai tidak seambisius dulu. Tapi Raka, masih menggenggam mimpi itu terlalu erat sampai tangannya berdarah. Raka tidak ingin terkenal karena pengakuan. Dia hanya ingin di dengar. Ingin seseorang datang dan berkata padanya, "Gue ngerti maksud lu di lagu itu."

Raka mengeluarkan ponselnya, membuka akun Instagram band yang ia buat bersama teman-temannya. Follower-nya naik satu. Satu!

Dirrect Massage:

Lagu kamu bagus. Aku suka banget!

Raka membaca pesan itu sebanyak tiga kali. Akun random. Nama pengguna asing. Profilnya perempuan berhijab yang memunggungi kamera. Ada bagian kecil dari dirinya yang ingin tersenyum. Tapi lebih besar bagian lain yang sudah terlalu lelah untuk bereaksi. Akhirnya, ia hanya membalas dengan satu emoji jempol. Bukan karena sombong. Tapi karena dia belum percaya kalau pujian itu tulus.

***

Sesampainya di kos, Alya langsung menaruh tas, menyalakan lampu kamar, dan duduk di depan laptopnya. Bukan untuk menyelesaikan tugas, tapi untuk membuka file video yang sebelumnya ia rekam diam-diam. Suara dari video itu sangat jelas karena keadaan kafe yang tidak terlalu ramai. Dia ulang beberapa kali, fokus pada setiap liriknya. Bukan karena penasaran siapa penyanyinya, tapi lebih karena lagu itu terasa sangat jujur. Tidak berusaha terdengar indah, tapi justru terdengar sangat nyata.

Alya mengetik cepat di internet nama band yang ia temukan di Instagram. Tidak banyak yang muncul. Beberapa unggahan di akun media sosialnya pun tidak punya engagement yang tinggi. Ia membuka Instagram lagi. Akun @twenty6 masih aktif. Tapi postingannya tidak terlalu banyak. Beberapa reels, foto manggung, dan caption pendek. Namun, ada satu unggahan yang membuat Alya berhenti scrolling. Video sederhana. Hanya Raka di dalam kamar, dengan gitar dan satu kalimat: "Yang menyerah lebih dulu, biasanya bukan karena lelah. Tapi karena sendirian."

Alya mengetuk replay. Lagi, dan lagi.

"Sayang aja, lagunya sebagus itu tapi enggak banyak yang tau."

Sebelum tidur, Alya hendak mengunggah video itu ke media sosial miliknya. Alya berpikir bahwa, lagu sebagus ini tidak cocok di dengar sendiri. 

Tapi dia urung melakukannya sebab lagu itu adalah lagu yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Alya takut disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Alhasil, dia menyimpan video itu dengan rapi di laptopnya. Sebagai pengingat, bahwa di luar sana ada seseorang yang terus berjuang, bahkan ketika tidak ada yang percaya. 

Mungkin, esok hari... dia tidak berencana mencari tahu lebih jauh. Tapi, mungkin jika nanti ada kesempatan lagi untuk mendengar band itu main, Alya mungkin akan tinggal sampai lagu terakhir dinyanyikan.


TERADonde viven las historias. Descúbrelo ahora