Final Decision

12.8K 297 12
                                    

Sore itu di Jakarta, Indonesia.

"Aku minta maaf. Aku baru bisa bicara sama kamu sekarang. Maaf. Sekali lagi maaf. Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik aja kok. Sampai ketemu lagi ya."

Satu hari menjelang acara pernikahannya dengan Afgan, pria yang akan menjadi suaminya beberapa jam lagi. Tentu saja Lila sangat senang. Tapi, ia merasa ada sesuatu yang sangat ganjil dalam hatinya. Ia tidak tahu apa itu. Kalimat yang diucapkan Fernan padanya kemarin, masih terngiang dengan jelas dikepalanya. Entah, ia merasakan sesuatu yang sangat berbeda dengan Fernan, pria yang dulu bersikap sangat dingin padanya itu menyatakan cintanya padanya.

"Bodoh. Kenapa kamu baru memberitahuku?" Air matanya turun perlahan di pipi. Ia tidak tahu sedang menangisi apa. Fernan? Untuk apa dia menangisinya?

"Kamu terlambat, Fernan. Sangat terlambat." Lila berujar lirih. Ia melihat dirinya yang terbalut gaun pengantin putih panjang. Ia terlihat sangat cantik dalam gaun itu. Afgan yang memilihkannya, menurutnya gaun itu sangat indah bila dikenakan Lila. Dan Afgan memang benar. "Maaf Fernan. Tapi, entah kenapa aku merasakan hal yang sama. Ini semua sangat aneh, bukan? Padahal hari ini adalah hari pernikahanku bersama Afgan. Tapi kenapa aku merasa sangat ganjil saat ini?" Ia mengangkat sedikit gaun panjangnya, lalu melihat lagi dirinya di cermin panjang itu.

"Benar, kan? Ada yang salah?"

Magenta tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Matanya menatapnya lurus, sangat serius. "Fernan lagi? Berapa kali sudah ku katakan sama kamu kalau membuat keputusan itu memang sangat berat?" matanya semakin memandang Lila lekat, tajam dan membuat sedikit kerutan di dahinya saking seriusnya.

"Maafkan aku... Aku bingung. Aku masih amatir dalam hal ini. Aku..." air matanya mengalir keluar, pikirannya kacau. Hari besarnya akan kacau. Semuanya akan kacau hanya karena sebuah keputusan.

Magenta merentangkan tangannya, memeluk erat sahabatnya. Ia merasakan bahwa ini memang keputusan yang sangat sangat berat. Bahkan sebagai sahabatnya, Magenta merasa pusing tujuh galaksi kalau Lila meminta saran tentang hubungannya.

"It's okay, dear." Ia menepuk pelan punggung Lila, menenangkannya. Sedang saat ini Lila sudah terisak tak karuan. "You must face the truth! Go on! You make the decision. Put your make up on and face the truth. Are you happy now? Are you happy with him? Sudah berkali-kali aku bertanya hal yang sama, kan? Are you?" Magenta melonggarkan pelukannya, ia kembali menatap lurus Lila.

Air matanya mulai mereda berkat kata-kata Magenta. Ia memang yang membuat keputusan ini. Ia yang harus menghadapi kenyataannya. Ini adalah hal terberat dalam hidupnya yang telah seperempat abad. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan, "Aku cukup bahagia dengannya. Memang aku mencintai Fernan, namun aku juga mencintai Afgan. Aku merasa kalau memang Afgan yang benar untukku, lalu aku memilihnya." Lila tersenyum, meskipun dengan matanya yang masih berair. Ia mencoba untuk tetap tersenyum.

"Oh! Thanks God! Problem solved." Magenta tertawa kecil.

"Jadi, kamu nggak nyesal memilih Afgan?" tanya Magenta sekali lagi.

Lila menarik napasnya, "Iya, aku yakin nggak nyesal."

Keduanya berpelukan erat.

***

Beberapa menit sebelum musik pengiring mulai dimainkan, Lila kembali menanyakan pada diri sendiri, apakah ia benar-benar siap? Apakah ini benar keputusan yang tepat?

Mata coklat gelapnya menatap siluet dirinya di cermin. Hari ini dan semuanya akan berubah. Semuanya benar-benar membingungkan baginya.

Kisah cintanya yang kelewat anehnya. Yang awalnya terkagum-kagum dengan Afgan, dan kemudian karena situasi canggung tertentu di kantor dan dirinya mulai terbawa suasana dengan Fernan, dirinya yang mencintai dua pria berbeda dan ia telah membuat keputusan, ia memilih Afgan, dan mencoba melupakan kenangan manis dengan Fernan.

Ia pun masih belum mengerti, mengapa ia masih merasa rindu dengan Fernan, namun lambat laun sampai detik ini ia mulai menyadarinya, ia tahu mengapa dirinya merindukan Fernan, pria yang telah membuat beberapa memori manis.

Ia menghembuskan napasnya, tersenyum dengan perasaan yakin bahwa keputusan ini harusnya memang benar, bahwa ini adalah hidupnya—ceritanya.

Musik pengiring mulai dimainkan. Lila berjalan dengan anggunnya ke arah altar, matanya terpaku pada pria itu, Afgan.

Ia yakin.

***

Bandara Internasional Soekarno Hatta, Jakarta.

Mereka baru saja turun dari pesawat. Dengan barang bawaannya yang lumayan sedikit, mereka terburu-buru menuju pintu penjemputan.

"Taxi!" teriak Fernan.

Setelah mendapatkan taxi, mereka segera menuju tempat yang Fernan tunjukkan.

"Kamu yakin, kan?"

Dengan nafas terengah karena buru-buru tadi, Fernan tersenyum, ia menggenggam tangan Yolan, "Aku yakin".

Mendengar pasangannya seserius itu, Yolan membalas senyumannya dengan hangat.

"Pak, ini alamatnya, kan?" tanya supir taxi.

Fernan melongokkan wajahnya keluar jendela, "Iya pak, kami turun disini. Terima kasih" Ia kemudian memberikan selembar uang kertas IDR 50.000 dan segera keluar dari taxi.

"Dandananmu konyol" ujar Fernan saat tak sengaja melirik Yolan yang tengah menenteng koper.

Yolan menatap Fernan tak terima, "Aku nggak pakai make up, dan ini gara-gara kita keburu tadi."

Fernan terkikik, ia menepuk pelan kepala Yolan, "Maaf ya, hahaha. Ayo kita masuk, sepertinya acara sudah mulai. Pegang tanganku."

Pria itu menggenggam tangan gadis itu erat, seolah tak ingin kehilangan cintanya lagi. Diam-diam Yolan memperhatikan pria itu, matanya menatap lurus ke depan tanpa ragu. Yolan merasa sangat gugup saat memasuki gereja, ia bertanya dalam hati, apakah Fernan tidak merasa sakit hati atau apapun itu?

***

Semua mata hadirin tertuju pada pasangan berbahagia di depan altar. Pasangan itu tersenyum bahagia satu sama lain, berpegangan tangan untuk mengucapkan janji setia.

Semua hadirin terhipnotis untuk terus menatap momen itu dan menikmatinya. Terasa indah rasanya saat akan melepas masa lajang, detik-detik mengucapkan janji setia.

Diam-diam, ada tamu yang baru saja tiba dan ingin sekali melihat acara sakral ini.

Orang itu pun diam-diam meneteskan air matanya. Disampingnya seorang perempuan cantik menemaninya dan tangan keduanya saling menggenggam erat.

"Dengan ini, Afgan dan Lila resmi dinyatakan sebagai suami dan istri. Selamat berbahagia."

Tepukan tangan dari tiap hadirin membuat suasana menjadi haru.

"Aku merasakannya, sayang."

"Merasakan apa?"

"Kupu-kupu itu kembali datang di perutku"

Lila tersenyum lebar.

***

"Kamu merasakan apa, Nan?"

Fernan menatap Yolan sambil tersenyum sangat lebar, "Kamu bisa lihat di wajahku?"

Yolan memeluknya tiba-tiba dan itu mengagetkannya.

"Aku senang kamu senang." Ujar Yolan dalam pelukannya dengan Fernan.

"Princess..."

"Ya?"

"Mulai sekarang, aku akan mencoba mencintaimu semampuku, dan saat aku tak mampu lagi, tolong tetap cintai aku."

"Prince..."

"Ya Princess?"

"Mulai sekarang, aku akan tetap disini, saat kamu tak mampu atau saat kamu tak mencintaiku lagi. Karena kamu yang terakhir."

__________________

Terima Kasih sudah mau baca :)

Aku masih butuh saran-saran dari kalian, dan jangan lupa tinggalin jejak ya...


Regards,

Claswft

Decision (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang