Matahari pagi mulai menyelinap masuk melalui jendela besar di lounge dokter, menyapu ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut. Seulgi duduk di salah satu sudut ruangan, tangannya melingkar di sekitar cangkir kopi yang hampir dingin.
Namun, bahkan kehangatan sinar matahari pun tak mampu mengusir ketegangan yang mengendap di tubuhnya. Bayangan dari operasi semalam masih berputar ulang dalam pikirannya, seperti rekaman yang tak bisa dihentikan.
Tangannya terasa dingin. Bahkan saat melepas sarung tangan bedahnya, ia masih bisa merasakan sensasi darah yang menempel di kulitnya-meski itu hanya ada di pikirannya.
Bukan yang pertama kali.
Bukan yang terakhir kali.
Tapi tetap saja...
Dia menelan ludah, menenangkan gemetar halus di jemarinya sebelum akhirnya memasukkan tangannya ke dalam saku jas dokter. Tidak ada yang boleh melihat. Tidak ada yang boleh tahu.
Seulgi menghela napas pelan, lalu meraih cangkirnya dan meneguk sisa kopi yang sudah dingin. Rasa pahitnya menyadarkannya-bahwa ia masih ada di sini, masih harus menjalani hari, meski pikirannya tertinggal di ruang operasi semalam.
Cangkir kosong ia letakkan di meja sebelum bangkit. Tangannya terangkat, menyentuh syal tipis di lehernya.
"Aku sudah melindungimu selama ini, dan aku berniat untuk terus melakukannya."
Sebuah janji. Atau mungkin hanya ilusi yang selama ini ia percayai.
Dia menarik napas dalam, lalu melangkah keluar dari lounge. Begitu pintu terbuka dan koridor rumah sakit yang sibuk kembali menyambutnya, rutinitas pun mengambil alih.
Seperti biasa.
Seperti tidak pernah ada yang berubah.
-
Seulgi melirik jam di dinding-sudah hampir pukul dua siang. Waktu istirahat? Hanya wacana.
Langkahnya cepat menuju bangsal pasien, menyapa beberapa perawat yang sedang mengecek kondisi pasien di koridor.
"Dokter Woo!"
Sebuah suara nyaring membuatnya menoleh. Seorang anak laki-laki berlari ke arahnya dengan senyum lebar.
Tapi sebelum Seulgi bisa bereaksi, bocah itu sudah menabraknya tepat di pinggang. Seulgi hampir kehilangan keseimbangan, tapi dengan refleks cepat, dia berhasil bertahan.
"Jian, berapa kali aku bilang jangan lari di rumah sakit?" Seulgi berjongkok, menatap anak itu dengan tatapan tegas tapi lembut.
Anak itu hanya nyengir, menggaruk kepalanya dengan canggung. "Maaf, dok. Aku cuma mau kasih lihat gambarku. Aku gambar ini buat dokter Woo."
Seulgi menerima kertas gambar yang diulurkan Jian. Di sana ada sosok seorang dokter dengan jas putih dan senyum lebar.
"Ini aku?" tanyanya.
Jian mengangguk antusias. "Iya! Dokter Woo baik sekali. Seperti superhero."
Seulgi tersenyum kecil. "Superhero, ya? Kalau begitu, superhero ini mau kasih kamu misi penting-jalan pelan-pelan di rumah sakit."
Jian tertawa kecil sebelum berlari kembali ke bangsalnya (tentu saja masih dengan kecepatan tinggi, mengabaikan perintah Seulgi).
Seulgi hanya menghela napas, lalu kembali berjalan menuju ruang dokter.
Begitu masuk, ia langsung menuju mejanya di sudut ruangan, meletakkan berkas yang sejak tadi ia bawa. Ruangan itu tidak pernah benar-benar sepi-selalu ada dokter lain yang keluar masuk, mengobrol pelan, atau sekadar mengisi ulang kopi. Tapi Seulgi sudah terbiasa menyaring semua itu.
YOU ARE READING
Until You Notice - Jaeyi Seulgi [ END ]
FanfictionJaeyi selalu hadir-dalam bayangan, dalam lagu-lagu yang mengalun tanpa sengaja, dalam kebiasaan kecil yang Seulgi pikir sudah ia lupakan. Seberapa jauh pun ia mencoba melangkah, selalu ada sesuatu yang membawanya kembali. Tapi apa arti semua ini? Se...
![Until You Notice - Jaeyi Seulgi [ END ]](https://img.wattpad.com/cover/391160743-64-k751246.jpg)