Seulgi duduk di sofa apartemen itu, menatap amplop di tangannya.
“Aku tidak mengerti,” katanya akhirnya. “Kau pergi, lalu kembali, dan sekarang kau ingin aku bekerja di rumah sakitmu?”
Jay duduk di kursi di seberangnya, kakinya disilangkan dengan santai.
“Aku tahu kau tidak akan langsung menerima. Tapi aku juga tahu kau pasti mempertimbangkannya.”
Dia benar.
Seulgi membenci fakta bahwa Jay selalu tahu cara membaca pikirannya.
“Terserah kau, Woo Seulgi.” Jay mengangkat bahu. “Aku hanya menawarkan tempat yang lebih baik untukmu. Rumah sakit tempatmu bekerja sekarang memang bagus, tapi tidak sebanding dengan J Medical.”
Seulgi menatapnya tajam. “Aku di sini bukan untuk bekerja denganmu, Jay.”
Jay tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis, seolah tahu bahwa Seulgi akan datang padanya juga suatu saat nanti.
—
Malam itu, Seulgi tidak bisa tidur.
Apartemennya terasa terlalu sunyi.
Bodoh. Kenapa aku masih memikirkannya?
Seulgi menarik napas dalam, membiarkan udara malam yang dingin menyentuh kulitnya. Tapi bahkan udara segar pun tidak bisa menenangkan pikirannya.
Matanya kembali melirik ke meja. Amplop itu masih di sana, tak tersentuh. Seharusnya dia bisa mengabaikannya, seharusnya dia bisa berpura-pura itu tidak ada.
Tapi nyatanya, dia tidak bisa.
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, sebelum perlahan bergerak ke perutnya, menyentuh bekas jahitan yang sudah lama ada di sana. Dulu, rasa sakitnya fisik. Sekarang? Lebih dari itu.
Jaeyi sudah kembali.
Bukan hanya sebagai bayangan dari masa lalu, tapi nyata—hadir, berdiri di hadapannya dengan nama yang berbeda, dengan senyum yang terasa begitu familiar tapi juga asing di saat yang sama.
Seulgi menghela napas.
Kenapa harus sekarang? Kenapa harus dengan cara ini?
Dia bisa merasakan debaran halus di dadanya—bukan sekadar kemarahan, bukan sekadar kebingungan. Ada sesuatu yang lain.
Rasa rindu yang tidak pernah ia akui.
Dan itu membuatnya takut.
Karena Jaeyi bukan hanya seseorang dari masa lalunya. Dia adalah luka yang belum benar-benar sembuh, bagian dari dirinya yang pernah hilang dan sekarang kembali dengan kenyataan yang lebih rumit dari sebelumnya.
Seulgi menutup matanya, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi percuma.
Jaeyi sudah kembali.
Dan entah bagaimana, Seulgi tahu ini baru permulaan.
Jaeyi…
Kenapa aku tetap merasa kehilangan, padahal kau ada di hadapanku?
—
Di sisi lain kota, Jay berdiri di balkonnya, menyesap segelas anggur merah. Matanya menatap cahaya kota Seoul, tetapi pikirannya ada di tempat lain.
Dia tahu ini tidak akan mudah. Seulgi terlalu keras kepala untuk langsung menerimanya kembali.
Tapi tidak apa-apa.
Jay punya waktu.
Dan dia akan membuat Seulgi mengerti.
Jay menyesap anggurnya lagi, tapi rasanya hambar di lidahnya. Pikirannya masih terpaku pada satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang.
Seulgi.
Pikirannya kembali ke beberapa jam yang lalu, saat Seulgi masih ada di apartemennya.
Saat mereka berdiri begitu dekat.
Saat dia hampir…
Jay mengepalkan tangannya di sisi gelas, menghela napas panjang. Seulgi masih sama—keras kepala, penuh batasan, tapi ada sesuatu di matanya tadi. Sesuatu yang membuat Jay ingin menariknya lebih dekat, ingin memastikan bahwa yang dia lihat bukan hanya ilusinya sendiri.
Bahwa Seulgi juga masih mengingatnya.
Masih menginginkannya.
Tapi Seulgi menahannya.
Dan yang lebih mengganggu Jay, dia pun melakukan hal yang sama.
Seulgi ada di sana, duduk di sofa dengan tangan terlipat di dadanya, matanya menerawang ke layar televisi yang menyala tanpa benar-benar ditonton.
Jay hampir tertawa kecil. Seulgi selalu seperti itu. Berpura-pura fokus pada sesuatu ketika pikirannya justru berkecamuk.
Dia mendekat, langkahnya nyaris tanpa suara. Sejenak, dia hanya berdiri di belakang sofa, memperhatikan Seulgi. Cahaya lampu temaram menyorot wajahnya, memperlihatkan garis lelah di matanya.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali Jay bisa melihatnya sedekat ini—sejak terakhir kali dia bisa merasakan keberadaannya tanpa harus membayangkan.
“Lelah?” Jay akhirnya bertanya, suaranya pelan.
Seulgi menoleh sedikit, lalu menghela napas. “Seperti yang kau lihat.”
Jay mengangguk, lalu tanpa berpikir, tangannya terangkat. Dengan gerakan alami, dia merapikan helaian rambut Seulgi yang jatuh ke wajahnya.
Seulgi membeku.
Jay bisa merasakan tubuhnya menegang, bisa melihat caranya menahan napas sejenak. Tapi dia tidak menolak.
Jay tersenyum kecil. “Kau masih sama.”
Seulgi mengernyit, menatapnya curiga. “Apa maksudmu?”
Jay menatapnya lekat, jemarinya masih tertinggal di dekat pelipis Seulgi. “Kau selalu membiarkan rambutmu berantakan saat lelah.”
Seulgi ingin membantah, tapi bibirnya tetap tertutup. Karena dia tahu Jay benar.
Jay menurunkan tangannya perlahan, tapi tidak segera menjauh. Jarak mereka terlalu dekat sekarang. Terlalu berbahaya.
Seulgi bisa merasakan hangat napas Jay.
Jay menatapnya lebih lama, matanya dalam, menyimpan sesuatu yang sulit diartikan.
Lalu, dia bergerak sedikit ke depan.
Hanya beberapa inci.
Cukup untuk membuat Seulgi menelan ludah, cukup untuk membuat dadanya berdebar tidak karuan.
Tapi tepat sebelum jarak itu hilang sepenuhnya, Jay berhenti.
Dia menahan diri.
Matanya masih menatap Seulgi—bukan Jay yang dia lihat di sana, tapi Jaeyi.
Seulgi tahu itu.
Dan itulah yang membuatnya takut.
Jay akhirnya menarik napas dalam, sebelum berbisik pelan, hampir seperti gumaman.
“Kau masih Seulgi-ku, kan?”
Seulgi tidak menjawab.
Karena untuk pertama kalinya, dia tidak yakin dengan jawabannya.
YOU ARE READING
Until You Notice - Jaeyi Seulgi [ END ]
FanfictionJaeyi selalu hadir-dalam bayangan, dalam lagu-lagu yang mengalun tanpa sengaja, dalam kebiasaan kecil yang Seulgi pikir sudah ia lupakan. Seberapa jauh pun ia mencoba melangkah, selalu ada sesuatu yang membawanya kembali. Tapi apa arti semua ini? Se...
![Until You Notice - Jaeyi Seulgi [ END ]](https://img.wattpad.com/cover/391160743-64-k751246.jpg)