01 [2]

19 4 0
                                        

Tring~
Gelas wine saling berbenturan di langit-langit.

"CHEERS!"

Teriakan penuh semangat itu menggema, berbeda dari hari-hari lainnya. Malam ini, lebih hidup, lebih bertenaga.

"Ahh... terakhir nih kita minum-minum. Ya gak, guys?" Minna menaikkan satu alisnya sambil tersenyum licik.

"Ya dong!"

Gelak tawa mereka membahana, memenuhi ruangan dengan euforia yang menggila. Tapi di sudut ruangan, seorang pemuda memperhatikan Minna dalam diam. Matanya menyiratkan kekecewaan, penyesalan, dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.

"Minna... Kakak gagal jadi kakak yang bisa menjagamu."

Vernon menggigit bibirnya. Matanya mulai terasa kabur akibat genangan air mata yang berusaha ia tahan.

"Kemana orangtua yang dulu selalu memanjakanmu, Min? Kenapa kau meminum minuman keras di umurmu yang sekarang? Itu berbahaya..."

Tapi bibirnya tetap terkunci. Hanya senyuman tipis yang ia pertahankan.

"Kakak tidak bisa seperti Kak Rion, yang selalu menjaga kita meski dia sendiri jadi korban ayah dan ibu. Maafkan Kak Vernon, Min. Aku hanya bisa menjagamu dari jauh."

Vernon senang karena Minna tumbuh menjadi wanita kuat dan cantik, tetapi tubuhnya sudah rusak total.

Gelak tawa Minna dengan lima temannya membuat Vernon sedikit iri. Dan ada juga sedikit rasa kasihan.

"Jikalau saja aku ada di sisinya, mungkin Minna tidak akan menjadi seperti ini..."

Baju ketat.
Tangan bertato.
Wajah penuh tindik.
Teman-teman yang tidak bisa dipercaya.
Tidak peduli pada lingkungan maupun dirinya sendiri.

"Congrats, Minna. Aku menyayangimu... walaupun jika kau mendengar perkataanku, kau hanya akan bilang, 'Di dunia ini masih banyak yang mau menyayangiku. Aku tidak butuh kasih sayang dari seorang bisu sepertimu.' "

Senyuman Vernon kembali menyusut saat mengingat ucapan pahit itu. Tapi dengan cepat, ia memaksakan senyum lagi.

"Aku pergi, Min. Jaga dirimu."

Vernon melangkah keluar dari bar yang semakin ramai dan bising, meninggalkan Minna dengan tawa dan teman-temannya.

°
°
°

Langkah Vernon terasa lebih berat dari biasanya. Udara malam menusuk kulitnya, tapi tak lebih dingin dari perasaan yang kini menyelimuti hatinya.

Suara tawa Minna masih terngiang di telinganya, bercampur dengan dentuman musik yang menggema dari dalam bar.

Ia menarik napas panjang, membiarkan udara memenuhi paru-parunya sebelum membuangnya perlahan.

"Kenapa aku ke sana?"

Ia bertanya pada dirinya sendiri, meski tahu jawabannya.

Kakak hanya ingin melihatmu, Minna.

Langkahnya berlanjut, menyusuri trotoar yang mulai lengang. Cahaya lampu jalan berpendar redup, menciptakan bayangan panjang yang mengikuti gerakannya.

Setiap langkah terasa seperti membawa beban tambahan—beban yang tak terlihat, namun begitu nyata.

Di persimpangan, Vernon berhenti sejenak. Matanya menatap lurus ke depan, ke arah gedung sekolah yang berdiri megah dalam keheningan malam.

Sekolah.
Asrama.
Kamar.

Tempat yang seharusnya menjadi rumah, tapi tak pernah benar-benar terasa seperti rumah.

The First Hug [最初のハグ]Where stories live. Discover now