“Ih, jangan!” Prisa merapikan rambutnya. “Gue udah susah payah menata rambut gue, jangan di bikin berantakan.”

“Emang siapa yang bakal cium lo?” tanya Sarah. Perempuan itu mengendus baju Prisa, bahkan leher perempuan itu, membuat Prisa mendorong kepala Sarah menjauh. “Mana bau parfumnya di sekujur tubuh lagi. Lo berendam pakai parfum, Pris?”

Prisa mendelik. “Enggak, ya! Gue memang wangi dari lahir. Mana pernah gue pakai parfum,” elaknya.

Rani mencibir. “Kalau mau bohong pintar dikit. Baru aja tadi di kelas lo semprot parfum. Pakai ngaku gak pernah pakai parfum lagi.”

Prisa menatap Rani dengan tatapan memicing. Tidak bisa apa Rani mengiyakan saja ucapannya? Wajah perempuan itu berubah cemberut.

“Jangan di endus kayak gitu!” Prisa kembali menjauhkan kepala Sarah darinya. Sarah masih saja mengendus bak anjing pelacak.

“Ganti parfum juga, ya?” tanya Sarah. Dia mencium bau parfum yang berbeda dari Prisa. Biasanya bau parfum perempuan itu seperti buah ceri, tapi kali ini bau parfumnya seperti bunga mawar. “Lo mau menggoda siapa, sih? Bau parfumnya bikin orang turn on ini.”

Prisa mendelik kesal. Apa dirinya tampak seperti perempuan penggoda? Lagi pula, parfum yang dia pakai juga biasa saja. “Emang lo jadi nafsu pas cium bau parfum gue?”

Sarah mengangguk, membuat Prisa dan Rani menatapnya horor. “Ya, kenapa? Kan, gue nafsu karena bau parfumnya.” Sarah mengiringi ucapannya dengan tawa. “Kalau sama Prisa gue gak nafsu. Masih normal gue.”

Prisa ikut mengendus tubuhnya sendiri. “Masa, sih, bau parfumnya bikin orang nafsu?” tanyanya. Dia sedikit tidak percaya dengan penuturan Sarah. Terkadang Sarah itu suka melebih-lebihkan sesuatu. Prisa hanya mengenakan parfum yang berbeda dari sebelumnya, hanya parfum beraroma bunga mawar, bukan mengenakan parfum yang di campur obat perangsang.

Rani berpindah duduk di sebelah Prisa, membuat perempuan itu kembali di apit oleh kedua temannya. Rani ikut mengendus. Ada dua anjing pelacak ternyata di dekat Prisa. Rani mencoba menghirup aroma parfum Prisa dalam-dalam, kemudian dia mengangguk. “Bisa kayaknya, Pris. Aroma mawarnya ke cium banget. Jangan dekat-dekat sama cowok lo, nanti langsung di perkosa.”

Prisa berdecih. Mana mungkin dia di perkosa hanya karena aroma parfum. Cara berpakaian juga salah, aroma parfum masa ikut salah juga. Tidak adil sekali jadi perempuan yang apa-apa di takut-takuti dengan kata di perkosa. “Aroma parfumnya biasa aja lagian. Kalau ada yang niat perkosa gue, emang orangnya gak beres aja.”

Sarah menatap Prisa yang bercermin menggunakan kamera ponselnya. Prisa memaju-majukan bibirnya seperti orang yang melemparkan kecupan dari kejauhan. Kemudian, Prisa tersenyum senang menatap wajahnya. Tangan perempuan itu juga mendarat di jepit rambut yang tidak pernah dia pakai sebelumnya itu.

“Lo benaran mau cium orang, Pris?” tanya Sarah. Melihat gelagat Prisa, sepertinya perempuan itu tidak bercanda. “Bukannya udah gak pernah dekatin Bima lagi?” Sarah bertanya demikian karena sudah lama Prisa tidak hilang ke mama-mana untuk mencari Bima. Prisa selalu bersama mereka dan Sarah kira Prisa sudah menyerah dengan Bima.

Prisa mengangguk. Dia kembali menyimpan ponselnya di dalam tas. “Gak pernah dekat di kampus, bukan berarti gue udah gak suka sama dia. Gue menghindar karena ada alasannya kemarin. Habis ini, gue bakalan ketemu sama Bima lagi,” ucapnya sembari tersenyum. Prisa tidak sabar bertemu Bima dan mendengarkan hal penting yang ingin Bima bicarakan padanya.

“Masih berharap sama Bima rupanya,” gumam Rani. “Terus, lo mau cium dia begitu?”

Prisa meneguk air liurnya. Bukan mau lagi, tapi Prisa sudah mencium Bima sebelumnya. “Enggak! Gila lo! Bima belum jadi cowok gue juga.” Prisa sedikit gelagapan, membuat Rani menatapnya curiga. Bahkan, Sarah pun ikut menatap Prisa penuh curiga. “Ya, kali gue cium Bima.” Suara Prisa sedikit memelan di akhir. “Iya, gue udah cium dia!” Akhirnya Prisa mengaku juga sebab tidak sanggup terus-terusan di tatap menyelidik oleh kedua temannya itu.

I Want It, I Got It!Where stories live. Discover now