[23] Prolog tanpa Epilog

Comenzar desde el principio
                                        

Dineshcara baru saja pulang dari stasiun setelah mengantarkan Minara, mamanya, serta Aji untuk kembali ke Bandung. Gadis itu memilih untuk pergi ke balkon kamarnya. Membiarkan dinginnya malam menusuk kulitnya.

Terpaan angin mengusap wajahnya yang sudah dibasahi oleh air mata. Dineshcara belum siap untuk harus bertemu dengan orang yang selama ini dicarinya. Jika waktu itu ia sangat berupaya untuk bisa menemukannya, maka untuk saat ini Dineshcara tidak menginginkan pertemuan itu.

Gadis itu berulang kali membuang napas panjang. Kenapa harus datang di saat ia sudah tidak mengharapkannya lagi? Bukannya Dineshcara tidak senang, hanya saja kenapa tidak dari dulu saja saat ia masih mencarinya? Kenapa sekarang?

Getaran pada ponsel di genggamannya berhasil mengalihkannya. Dineshcara membuka pesan yang masuk di ponselnya, dari Anjani di grup yang berisi anak-anak kos.

Adik-adik Mbak Dinesh (Kos)

Anjani
Mbak Dinesh tadi ada yang nyariin.

Laki-laki, Mbak. Mirip sama pacar Mbak Dinesh. Siapa ya namanya? Aku lupa.

Akshita
Mas Ishara kalau gak salah namanya. Bener gak, Mbak?

Ilaaa
Kayaknya iya deh itu namanya. Tapi kayaknya kok beda banget ya sama foto yang waktu itu Mbak Dinesh kirim?

Anjani
Eh, iya, ya? Kayak kurus banget. Aku aja hampir gak ngenalin.

Gendhis
Tadi Mbak Jani yang temuin orangnya kah?

Anjani
Iyooo. Makanya aku berani bilang kalau aku gak ngenalin dia. Dulu waktu pertama kali liat pas jemput Mbak Dinesh di depan gerbang, dia berisi, aku ya pengen unyel-unyel pipinya kalau gak inget dia punyanya Mbak Dinesh.

Ilaaa
Wkwk parah ih Mbak Jani.

Akshita
Ini Mbak Dinesh nya mana? Kok yo nyimak doang, Mbak? Bener gak ini pacarmu?

You
Aku gak tau, Shita. Tapi, tadi siang emang sempat liat orang yang mirip. Salah liat aja sih kayaknya.

Gak usah dipikirin. Aku udah nyerah juga. Biarin aja, cuma mirip aja kali.

Jika memang benar tadi Ishara datang ke sini untuk mencarinya, Dineshcara menyimpulkan seseorang yang dilihatnya tadi di kafe memang benar Ishara. Dineshcara sendiri tahu bahwa saat ini dirinya sedang denial.

Tidak lagi sekadar getaran biasa, kini ponselnya berdering nyaring menandakan ada yang meneleponnya. Dineshcara mengerutkan dahi saat melihat siapa yang meneleponnya di malam-malam seperti ini.

Nomor gak dikenal, siapa?

Demi membunuh rasa penasarannya, Dineshcara mengangkat telepon itu. Ia bersumpah tidak akan mengeluarkan suara apa pun sebelum orang itu yang bicara lebih dulu.

"Halo?"

Suara itu, Dineshcara menjauhkan ponselnya dari telinganya. Isakkan tangisnya semakin terdengar keras. Suara itu adalah suara yang selalu Dineshcara harapkan untuk bisa kembali di dengarnya selama dua tahun terakhir ini.

"Ini benar nomornya Dineshcara Elakshi?"

Dineshcara masih enggan untuk menjawab. Ia tidak mau orang itu mendengar suaranya yang bergetar saat bicara nanti.

"Aku Ishara. Ishara Jakti Lakshan."

"Ada apa?"

Dineshcara sangat tidak berekspektasi bahwa akan menanyakan seperti itu dengan nada yang sangat datar. Dulu, Dineshcara sering berandai-andai Ishara akan tiba-tiba menghubunginya dan responnya adalah curahan kebahagiaannya karena bisa mendengar suara itu lagi. Tapi, pada kenyataannya tidak seperti itu. Ini benar-benar di luar kendalinya.

"Apa kabar? Maaf udah buat kamu nunggu lama tanpa sebuah kepastian sampai kapan kamu harus nunggu. Maaf kalau aku sepengecut itu karena gak berani temui kamu untuk sekadar berpamitan. Maaf juga aku udah datang lagi ke kehidupan kamu yang sekarang secara tiba-tiba.

"Ada beribu maaf yang mau aku sampaikan ke kamu, Din. Aku salah udah ninggalin kamu tiba-tiba dan datang lagi secara tiba-tiba. Maaf udah mengacaukan semuanya. Selama dua tahun ini aku cuma berharap kamu mau terima maafku dan tetap menjadi tempatku untuk pulang."

"Ayo putus!"

"Din, aku lagi nggak mau bercanda," sanggah Ishara saat mendengar balasan Dineshcara.

"Aku gak pernah bercanda sama orang yang gak aku kenal," tandas Dineshcara.

"Aku pacar kamu."

"Udah kubilang, ayo putus! Dari kalimatku yang itu harusnya kamu paham kalau sejak detik itu juga kamu bukan siapa-siapa lagi bagiku."

"Putusnya sebuah hubungan harus berdasarkan persetujuan kedua belah pihak." Ishara masih berusaha agar Dineshcara mau menarik kembali perkataannya.

"Kamu pikir waktu itu kamu pergi atas persetujuan kedua belah pihak? Nggak, 'kan? Pernah kamu minta persetujuan aku sebelum ambil keputusan? Nggak pernah, Kak."

"Tapi ini perkara putus, Din. Kita udah jalani hubungan ini bertahun-tahun, udah kenal satu sama lain juga," balas Ishara.

Dineshcara mengepalkan telapak tangannya guna menahan semua perkataan yang ingin ia katakan untuk menyumpahserapahi laki-laki di seberang sana. "Aku gak kenal kamu."

"Hampir sembilan tahun kita jalani hubungan ini, Dinesh."

"Bohong! Cuma aku yang jalani hubungan ini, Kak. Kamu pergi gitu aja tanpa tahu aku di sini hampir gila nyari kamu. Kata kamu kita udah hampir sembilan tahun, 'kan, jalani ini semua? Terus kamu pikir karena itu kita udah saling kenal? Nggak sama sekali, Kak.

"Sejak kamu pergi, aku gak pernah kenal kamu lagi. Begitu pun kamu yang gak kenal aku lagi. Aku udah bukan Dineshcara yang dulu, kamu juga bukan Ishara yang dulu aku kenal. Kamu beda, Kak. Aku gak pernah tahu alasan kamu pergi, yang aku tahu mungkin itu salah satu rahasia kamu dari banyaknya rahasia yang kamu sembunyiin dari aku."

"Maaf."

"Cuma kata maaf 'kan yang bisa kamu bilang? Sama. Yang bisa aku bilang cuma ayo putus, Ishara Jakti Lakshan!"

***



















HEHEHEHE MAAF MENGECEWAKAN😁🙏🏻 kalau udah baca jangan lupa vote dan komentarnya ya fren💞

Love youuu <3

Salam manis,
Tata.

Prolog Tanpa Epilog [TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora