Saat pertama kali bertemu, kau mengajariku tentang apa arti dari pertemuan. Namun setelah aku berhasil memahami artinya, kau justru memaksaku mencari makna dari sebuah kehilangan.
***
Sebelum pulang ke Bandung, Minara memaksa Dineshcara untuk berkeliling Yogyakarta. Mencari spot foto terbaik, menikmati kuliner, membeli oleh-oleh, dan masih banyak lagi yang Minara lakukan bersama Dineshcara hari ini.
Untuk melepas penat, Minara mengajak Dineshcara untuk mampir di sebuah kafe yang mereka lewati. Untuk sekadar duduk menikmati kopi dan makanan ringan, bercerita, hingga menghabiskan waktu.
"Ih, gue betah deh di sini. Keren banget kafenya. Apa gue pindah aja, ya, ke Jogja?" tanya Minara.
"Jangan, lah, Nar," larang Dineshcara.
"Kenapa?"
"Kecil."
"OHHH! GUE PAHAM." Minara tertawa setelah mengerti maksud dari Dineshcara. "Tapi, gue suka sama suasananya."
"Ya, pendapat gue nih, setelah tinggal di Jogja selama dua tahun. Jogja tuh nyaman buat dikunjungi. Dijadiin tempat tinggal juga nyaman sebenarnya, tapi lama-lama juga ya kayak kita di Bandung," balas Dineshcara.
Minara mengangguk mengerti dengan apa yang sahabatnya katakan. Ia juga merasakan hal yang sama saat tinggal di Surabaya. Terlebih lagi usianya sudah menginjak dewasa, sering berlibur bersama teman-temannya selama di sana. Terutama Malang, ia sangat sering menginjakkan kakinya di sana untuk liburan.
"Lo gak mau pulang aja ke Bandung?"
Dineshcara menggelengkan kepalanya. Keputusannya sudah sangat bulat untuk tetap tinggal di sini. Mungkin ia hanya akan mencari tempat tinggal baru untuk mendapatkan suasana yang baru.
"Masih berusaha nyariin?" tanya Minara lagi.
"Enggak, lah! Udah nyerah juga. Bahkan gue berpikir buat nyerah sama hubungan ini," jawab Dineshcara.
"Pikirin baik-baik, Din."
"Dua tahun, Nar. Tanpa kabar apa pun. Ya, kalau di luar sana dia masih belum punya pacar lagi ya syukur. Nah, kalau udah punya yang baru? Bego dong gue nunggu dua tahun tanpa kepastian, malah gue dijadiin opsi."
Dineshcara sudah tidak lagi melibatkan hati pada kisah percintaannya. Kali ini dia harus menggunakan logikanya.
"Berapa tahun sih lo sama dia?" tanya Minara penasaran.
"Kalau sampai sekarang sih udah delapan tahun lebih, jalan sembilan tahun. Isinya sembilan puluh lima persen LDR," jawab Dineshcara terkekeh.
Minara mengakui sahabatnya keren bisa menjalani hubungan selama sembilan tahun. Bahkan, jika dilanjutkan bisa sampai sepuluh tahun atau bahkan bertahan sampai tua pada jenjang yang lebih serius. Sayangnya, tidak semua jalan memiliki permukaan yang rata.
"Lo sendiri sama Kak Agas gimana?" tanya Dineshcara bergantian.
"Itu mah udah basi, Din. Gak dilanjut juga. Belum pacaran, tapi udah lebih dulu selesai. Epilog tanpa prolog, lah, kalau di puisi yang pernah gue baca," jawab Minara.
"Asing dong?"
"Jelasss!"
"Loh, terus waktu itu lo nawarin ke gue buat cari tau Kak Ishara ke temen-temen SMA-nya, lo udah selesai sama Kak Agas?" tanya Dineshcara memastikan.
"Udah. Gue sama Kak Agas selesai sejak dia lulus SMA, Din. Kita juga masih kelas sepuluh. Gak bertahan lama sama dia." Minara mulai terbuka kembali dengan Dineshcara. "Tapi, karena gue butuh Kak Agas sama temen-temennya buat gali informasi, terpaksa deh gue hubungi dia lagi. Aman sih, Din, nggak sampai balik ke dia. Gue trauma sama cowok friendly."
YOU ARE READING
Prolog Tanpa Epilog [TERBIT]
Teen Fiction"Aku menunggumu hingga hari esok. Jika esok kamu belum juga kembali, maka setiap hari adalah esok." -Dineshcara Elakshi. Bercerita tentang seorang gadis yang mengagumi kakak kelasnya dan bertekad akan mengabadikan sosok kakak kelasnya itu ke dalam s...
![Prolog Tanpa Epilog [TERBIT]](https://img.wattpad.com/cover/357837913-64-k151477.jpg)