[23] Prolog tanpa Epilog

Start from the beginning
                                        

Mendengar hal itu membuat Dineshcara kembali teringat Ishara. Menurutnya, Ishara juga termasuk ke dalam kategori cowok friendly seperti yang Minara katakan. Namun, Ishara mengetahui batas-batasnya dalam menjalin pertemanan dengan lawan jenis.

"Terus informasi apa yang lo dapat dari mereka?" tanya Dineshcara.

"Gak ada."

"Gak ada?"

"Iya, gak ada. Mereka juga sama nyari Ishara. Nomornya benar-benar udah gak aktif, bukan sekadar nomor lo diblokir," jelas Minara. "Oh iya, gue ingat deh lo pernah mau nulis tentang Ishara, 'kan? Sejak lo berniatan soal itu, udah keburu karya-karya lo yang lain lahir. Apa kabar novel lo yang satu itu?"

Dineshcara meminum kopinya sedikit sebelum menjawab pertanyaan Minara. Ia mencoba mengingat kembali kapan terakhir kalinya ia mencoba membuka draf tulisannya.

"Masih belum selesai, Nar. Gue masih nyari ending yang sebenarnya dan yang terbaik versi gue. Gue pernah bilang ke dia, kalau kisah kami gak sebahagia yang orang-orang bayangin, gue bakalan nulis di novel dengan versi yang lebih bahagia. Apa pun akhirnya dari gue dan Ishara, gue mau di novel itu tetap bahagia."

"Kalau keadaannya kayak sekarang, apa ending terbaik yang bakal lo tulis?" tanya Minara penasaran.

"Bahagia, walau tanpa dia. Begitu pun Ishara tanpa gue, bahagia. Itu yang gue mau," balas Dineshcara.

Minara tidak menyangka Dineshcara akan seserius ini dalam menuliskan karyanya. Biasanya Dineshcara bisa menyelesaikan tulisannya dengan cepat. Berbeda dengan yang ini, setelah delapan tahun pun Dineshcara masih mencari-cari ending terbaiknya.

"Prolog tanpa epilog, gambaran cerita gue sama Ishara. Gue sama Ishara berani memulainya, tapi sama-sama gak mau menyelesaikan. Ishara yang pergi begitu aja dan gue yang udah bermain logika. Kadang emang gak semua kisah yang dimulai itu bakalan dapat akhir yang utuh. Sebagian besar nggak sesuai harapan," lanjut Dineshcara.

"Percintaan gue sama lo beda banget. Din, kalau suatu saat nanti Ishara datang lagi ke lo, lo terima?" tanya Minara.

"Maksudnya?"

Minara memberikan kode dengan arah pandangannya saat ini. Dineshcara mengikuti arah pandangan Dineshcara. Melihatnya mampu membuat tubuh Dineshcara meluruh dan bersandar pada sandaran kursi.

Saat ini Dineshcara sedang tidak menggunakan kacamatanya, jadi siapapun katakan saja jika ia salah melihat!

"Nar, gue salah liat, 'kan?"

"Enggak, Din. Yang lo liat sama kayak apa yang gue liat sekarang. Dia datang lagi, ke sini, buat lo," jawab Minara terbata-bata.

Kedua gadis itu sama kagetnya saat melihat siapa yang baru saja memasuki kafe menggunakan kaus putih dan celana panjang berwarna cream. Orang itu menghampiri teman-temannya dengan raut wajah yang dipenuhi dengan kegembiraan, seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

"Itu mustahil, Nar," lirih Dineshcara masih tidak percaya.

"Tapi kenyataannya dia beneran ada di sini, Dineshcara. Kalau cuma lo yang liat mungkin bisa aja salah liat, tapi di sini gue juga liat, Din. Bahkan dia ke sini buat ketemu sama temen-temennya."

"Itu ... Mas Aat sama Mas Rahan?"

Minara sama sekali tidak mengetahui nama-nama orang di meja yang tidak jauh dari keberadaan keduanya selain seorang laki-laki yang berstatus sebagai pacar dari sahabatnya.

"Nar ...."

"Pulang, ya? Kita pulang aja. Jangan sampai dia liat lo ada di sini."

***

Prolog Tanpa Epilog [TERBIT]Where stories live. Discover now