LXII

170 10 0
                                        

Geraldi menatap layar ponselnya dengan tatapan datar. 

Kontak Ayla masih ia simpan dengan rapih, bahkan sosial media gadis itu masih ia ikuti. Hanya saja ia memilih untuk membisukan apapun update tentang Ayla. 

Pertemuan terakhirnya dengan Ayla benar-benar di luar dugaannya. Ia pikir Ayla akan menjelaskan apa hubungannya dengan Farhan, namun ternyata tidak. Gadis itu langsung memutuskan untuk mengakhiri semuanya yang ada diantara mereka. 

Suara ketuka pintu ruang kerjanya membuatnya seketika menoleh.

"Permisi Pak, ini ada yang mau saya laporkan" ujar salah seorang karyawannya.

Geraldi menaruh ponselnya di atas meja dan mempersilahkan karyawannya untuk masuk dan memberinya beberapa map untuk ia periksa. 

Sebisa mungkin Geraldi bersikap biasa saja dan tidak terlalu menghiraukan patah hatinya. 

Sudah tergambar dengan indah dibenaknya, bagaimana kelak ia dan Ayla jika keduanya berhasil dalam hubungan ini, namun nyatanya Ayla memilih untuk mundur, bahkan mengakhiri semuanya. 

Ia tidak bisa menutupi kekecewaan dan patah hati untuk ke sekian kalinya. 

"Masih ada lagi yang perlu saya cek?" Tanya Geraldi tanpa menoleh.

"Baru segini Pak, belum ada lagi" jawab karyawannya.

"Oke, kamu tinggal aja. Kalo sudah selesai nanti saya panggil" Geraldi mempesilahkan karyawannya untuk keluar.

Setelah karyawannya keluar, Geraldi menghela napas panjang. 

"Ayo Aldi fokus! Kita pikirin Ayla nanti malem aja, sampe puas!" 


****


"Tumben banget anak ini belum pulang" ujar Papa setelah melihat mobil Geraldi belum ada di garasi. 

"Iya, biasanya jam segini udah pulang Pa. Udah di kamar anak itu" ujar Mama.

"Ada kabar gak Ma?" Tanya Papa balik.

Mama menggeleng.

Belum sempat keduanya duduk di kursi, suara pagar rumah terbuka membuat keduanya seketika menoleh. 

"Siapa Pa?" Tanya Mama.

"Aldi" jawab Papa.

Geraldi memasukkan mobilnya ke garasi, kemudian menutup kembali pagar rumahnya.

"Kok tumben baru pulang" tanya mama ketika melihat putranya itu masuk ke dalam rumah sambil menenteng tas kerjanya, 

"Tadi aku makan diluar Ma, terus sedikit macet" jawab Geraldi duduk dan kemudian melepas sepatu dan kaus kakinya.

"Itu pager rumah udah kamu gembok kan?" Tanya Papa.

"Udah Pa" jawab Geraldi.

"Yaudah kalo gitu. Papa sama Mama mau istirahat. Adik-adik kamu udah pulang. Udah pada tidur malahan" ujar Papa yang kemudian berjalan meninggalkan anak sulungnya itu menuju Mama. Geraldi menaruh sepatu di rak sepatu kemudian berjalan ke kamarnya.

Bukannya ia sudah terbiasa patah hati? 

Bukankah diirnya sebelum-sebelumnya sudah terbiasa menjalani hidupnya serba sendiri?

Kenapa saat akhirnya Ayla memutuskan untuk mengakhiri semuanya, sekarang ia malah merana sendiri? Sambil berusaha menutupi patah hatinya agar orang-orang tidak perlu tahu  jika ia sedang patah hati.

Apa karena Geraldi terlalu berharap jika ia akan berakhir dengan Ayla?

Sambil mengambil handuk dari area jemuran di belakang rumah dan berjalan dengan langkah gontai menuju kamarnya. 

Ia membuka pintu kamar mandi dan menyalakan shower. Membersihkan tubuhnya yang lengket dengan peluh, berharap air dingin yang mengguyur tubuhnya ini juga meluruhkan isi pikirannya.

Apa Ayla juga merasakan hal yang sama dengannya? Patah hati tidak karuan begini? Tidak bersemangat menjalani hidup? 

Dengan erasaan yang bercamur, Geraldi membuka kembali ponselnya. Mengaktifkan alarm untuk besok pagi. 

Geraldi membaringkan tubuhnya di tempat tidur, mematikan lampu nakas, kemudian menarik selimutnya.


****


Sandy memperhatikan Geraldi yang masih terdiam, dan tidak banyak bicara.

Geraldi kembali seperti yang sebelumnya. 

Kembali dingin dan tidak banyak bicara. 

"Ada apa lagi?" tanya Sandy ada sahabatnya itu.

Geraldi mendongakkan kepalanya menatap Sandy dengan ekspresi datar.

"Ada apa lagi sampe lu balik ke setelan sebelumnya? Dingin kayak kulkas dua belas pintu gini" ujar Sandy.

Geraldi menggelengkan kepalanya, masih dengan ekspresi datarnya.

"Gak ada apa-apa" jawab Geraldi sekenannya. 

"Bohong" sahut Sandy cepat.

"Gue kenal lu udah berabad-abad ya, gue tau semua tentang lu. Gak usah bohong" dengan nada sewot Sandy menambahkan ucapannya.

Geraldi hanya tersenyum kecil.

"Udah, buruan abisin makanan lu. Gue mau balik ke kantor abis ini" Geraldi menyuruh Sandy agar lebih cepat menghabiskan makan siangnya.

Pandangannya tertuju pada sebah kedai kecil dim sum favorit Ayla. 

Ia teringat beberapa waktu lalu sengaja membelikan Ayla dim sum setelah selesai meeting. Ia ingat Ayla di jam-jam sore pasti akan mencari makanan untuk di jadikan kudapan sore hari. 

Ia tersenyum kecil mengingat potongan memori indah tersebut. 

"Yaudah yuk, gue udah kelar" 


Sesampainya di kantor, Geraldi kembali dengan pekerjaannya. Berusaha untuk kembali fokus dengan pekerjaannya. 

Sandy sudah menyadari perubahannya. Bahkan menurut sahabatnya itu, ia kembali seperti setelah sebelumnya sempat menjadi seseorang yang hangat. 

"Padahal kenal Ayla cuman setahun aja, pacaran juga enggak. Sedihnya bukan main, udah kayak pacaran bertahun-tahun terus diputusin gitu aja" Geraldi menghela napasnya, kemudian menyalakan laptop. 

Ia menuliskan to-do list untuk dirinya hari ini. Mengurutkan pekerjaan apa saja yang harus ia kerjakan dan selesaikan. 

Hari-harinya jadi monoton kembali seperti dulu, saat ia belum bertemu degan Ayla.

Hanya saja kali ini berbeda.

Ia tidak lagi mengonsumsi alkohol, tidak lagi merokok, tidak lagi menghabiskan waktu berjam-jam menonton film di laptop sampai larut malam. Hidupnya lebih teratur dan semua terasa ringan.

Ayla tidak pernah memintanya untuk berhenti merokok atau mengonsumsi alkohol. Entah mengapa sejak mengenal Ayla, ia tidak ingin kebiasaan buruknya berakibat buruk pada gadis itu 

Mr. FragileWhere stories live. Discover now