"Sagara... apa yang kau lakukan?" Resta merasakan kedua tangannya dicengkeram kuat oleh Sagara.

"Aku tidak bisa membunuhmu Resta." Sagara menatap tepat ke netra hitam Resta. "Tugasku itu melindungimu."

Deg.

Sagara tersenyum sumir. "Aku bukan pengkhianat. Semua yang aku katakan kemarin, bukan aku yang melakukannya, tetapi ayahku. Aku hanya berusaha melindunginya."

Pupil mata Resta membesar. Pemuda itu menarik ujung bibirnya ke atas, menciptakan sebuah senyuman kelegaan. Sagara kembali padanya. Sagara tidak meninggalkannya.

Sagara berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu Resta. Resta terkekeh, menjabat uluran tangan itu dan berdiri di samping Sagara.

"Kali ini kau serius dengan ucapanmu kan, Sagara?" Resta menepuk-nepuk tangannya yang berdebu.

Sagara mengangguk, memandang ke arah ayahnya dengan tatapan datar. "Ya."

"Termasuk melawan keluargamu sendiri?"

Deg.

"Mau bagaimana lagi?" Sagara menoleh ke arah Resta, memiringkan kepalanya, mendekatkan wajahnya ke depan wajah Resta dengan senyum ketulusan. "Melindungimu adalah prioritasku."

Resta refleks menampar pipi Sagara pelan. "Kau membuatku malu, sialan."

Sagara tertawa. Rasanya dia lega telah memilih jalan yang benar. Mungkin.

Sagara dan Resta berjalan mendekati Gaviel. Pria itu diam di tempat, memandang Abraham dengan berbagai emosi. Berbanding terbalik dengan Abraham yang sedang menahan amarah. Sorot matanya berkilat tajam, mengenang kembali dendam masa lalu yang menghantuinya selama ini.

"Abraham." Gaviel berujar dengan datar. "Apa benar aku yang membunuh Genta?"

Abraham tersenyum sinis. "Ya."

"Kenapa tidak memberitahuku?" Gaviel mengepalkan tangan. "Kenapa tidak memberitahuku bahwa perusahaan yang mensponsori Dewantara waktu itu adalah kelurga Genta? Kenapa tidak bilang padaku bahwa Genta anak konglomerat?!"

"Itu karena betapa polosnya Tuanku dulu, Gaviel. Dia berkata bahwa kau adalah teman pertamanya. Dia tidak ingin kau mengetahui bahwa dia berada di kalangan atas karena kau dulu sangat miskin. Dia tidak ingin kau merasa minder, dan memilih menyembunyikannya."

"TAPI KAU MENYEMBUNYIKANNYA SAMPAI KEMATIANNYA, ABRAHAM!" teriak Gaviel murka. "Jika saat itu Genta mati, harusnya kau menghajarku, dan berkata bahwa semuanya salahku. Bukan malah menyimpan dendam ini sendirian!"

Abraham tak berkutik. Waktu di antara mereka seakan berhenti, seakan dipaksa untuk mengingat kenangan lama yang kini menjadi bubuk-bubuk dendam masa lalu.

***

Mungkin jika ditanya apa sosok malaikat tak bersayap itu, maka Abraham akan langsung menjawab Genta Laksamana.

Kala dia telah dibumbung rasa putus asa karena keluarganya habis dibantai saat terlibat pertarungan politik, keturunan Rajaswana hanya tinggal dirinya. Disaat keterpurukan itu menggerogoti dirinya, disaat Abraham mengira dia tidak lagi memiliki siapa-siapa, Genta Laksamana datang bak pahlawan dalam kegelapan.

ERROR [END]Where stories live. Discover now