Anetha mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba menyesuaikan cahaya yang menusuk penglihatannya. Samar-samar, ia melihat sosok-sosok yang mengelilinginya. Ada kekhawatiran, kelegaan, dan cinta di wajah-wajah itu. Refleks tubuhnya langsung menegakkan diri menjadi posisi duduk.
Matanya bergerak ke kanan—dan di sanalah dia. Ares. Duduk di sisi tempat tidur dengan tatapan yang begitu lembut, seolah waktu tak pernah memisahkan mereka.
"Ni—Nio…" suara Anetha gemetar, tangannya langsung menggenggam tangan Ares, "Cerita... semuanya."
Ares terdiam. Ia menatap mata Anetha yang memohon dengan ketulusan yang tak bisa ia abaikan. Tangannya bergerak mengusap rambut Anetha dengan lembut, seperti dulu, seperti yang sudah jadi kebiasaannya sebelum maut merenggutnya dari dunia. Ia menghela napas panjang.
"Jadi…"
---
Flashback On
Ares terduduk di ruang hampa tanpa cahaya. Sepi. Dingin. Waktu terasa tak ada artinya di sana. Ia tidak tahu berapa lama ia sudah terjebak—hari, minggu, bulan? Tapi satu hal yang tidak pernah hilang adalah suara tangisan Anetha. Suara itu seakan menggema dalam pikirannya tanpa henti. Yang terakhir ia lihat adalah wajah Anetha yang berlinang air mata, mengguncangnya hingga ke tulang.
Ia yakin ini seharusnya neraka, tempat ia menerima takdir terakhirnya. Tapi tidak ada api. Tidak ada jeritan. Hanya sunyi dan kegelapan.
"Apa ini... antara hidup dan mati?" gumamnya.
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu menyentuh pergelangan kakinya. Seperti tangan manusia, tapi bercahaya. Ketika ia menunduk, ia melihat tangan bercahaya, besar dan bersinar, menggenggamnya. Ares mengerjapkan mata, tak yakin dengan apa yang ia lihat. Tapi saat ia hendak melangkah mundur, tangan itu menariknya keras.
"AAAAA!!" teriaknya.
Ia terseret entah ke mana. Dunia berputar dengan cepat, kepalanya pusing, perutnya mual. Ia ingin muntah, namun tak sempat, karena kegelapan menyergap dan menelannya lagi.
---
Saat ia membuka mata kembali, cahaya matahari menyambut wajahnya. Ia bangkit, memicingkan mata ke sekeliling. Tempat ini… ia tahu tempat ini.
"Taman... dekat mansion Dirgantara?" gumamnya.
Semua terasa nyata. Rumputnya, udara, sinar mentari yang hangat. Di salah satu bangku, ia menemukan koran tua. Tanggal di sana membuatnya terpaku: 2025.
"Sudah satu tahun…"
Tiba-tiba suara tak berwujud terdengar di telinganya, membuat tubuhnya bergidik.
"Aku memberimu kesempatan kedua. Nikmatilah hidup ini, Antares Elenio Fernando."
Ares menoleh ke segala arah, mencari sumber suara itu. Tapi tidak ada siapa-siapa.
---
Flashback Off
"...setelah itu, aku tinggal di rumah kecil dekat taman. Katanya itu disiapin buat aku," Ares menyelesaikan ceritanya.
Keheningan menyelimuti ruangan. Sulit dipercaya. Tapi semua orang di sana tahu… mereka tidak butuh bukti. Ares hidup. Itu sudah cukup.
Anetha tersenyum penuh haru. Ia langsung memeluk Ares dengan erat, seolah takut pria itu akan lenyap lagi jika ia lepaskan.
"Thank you, Nio…" bisiknya.
Ares mengernyit pelan. "Thanks for what, sweetie?"
Anetha menatapnya dalam-dalam. "Untuk semuanya."
YOU ARE READING
TWILIGHT
Random[END] Kierra Zerana Ynares-seorang gadis cantik yang hidup dalam gelombang keresahan, kekecewaan, dan ketidakadilan. Otaknya tajam, membuat banyak orang terkagum-kagum padanya. Namun, sifatnya sulit ditebak-kadang pendiam penuh misteri, kadang bobro...
