Lagi, Resta tak mengalihkan pandangannya dari jalanan kota.
Sean yang melihat itu menghela napas berat. "Faresta Dewantara."
Kali ini, Resta berhasil menoleh. Pemuda itu menaikkan satu alis, menatap Sean di kursi kemudi.
"Jangan merokok lagi."
Bibir Resta terlipat. "Aku tidak ingin diatur."
"Itu demi kesehatanmu. Kau punya asma, tidak baik—"
"Sejak kapan kau peduli?"
Genggaman di stir semakin menguat. "Sejak sekarang, Resta."
"Terus? Kau berharap aku akan melaksanakan perintahmu?" Resta mendengus geli. "Hei, kak. Aku ingatkan lagi, aku tidak akan mencari perhatianmu dan saudara yang lain— termasuk ayah. Jadi, anggap saja aku debu seperti dulu, oke?"
Xavier diam mendengarkan.
"Tidak ada yang mengatakanmu cari perhatian lagi ke Dewantara." Sean menatap Resta lewat kaca kecil yang menggantung di mobil. "Kali ini biarkan Dewantara yang cari perhatian padamu."
Deg.
Resta tersenyum kecut. "Kalau begitu, biarkan aku mengabaikan perhatian Dewantara— seperti yang Dewantara lakukan padaku dulu."
Setelah mengatakan itu, keadaan mobil menjadi lengang, senyap. Tak ada kata yang mampu membalas kata-kata Resta. Bahkan saat mobil Sean memasuki perkarangan sekolah, Sean belum menemukan kata yang cocok untuk membalas ucapan adiknya.
Xavier dan Resta turun dari mobil. Resta lebih dulu melangkah masuk ke bangunan bertingkat itu, meninggalkan Sean dan Xavier di parkiran.
"Bagaimana ini? Perhatian kita langsung ditolak mentah-mentah," ucap Xavier, menatap punggung Resta yang kian mengecil.
"Memangnya kenapa? Bukankah kita sudah sepakat tadi malam?" Sean ikut menatap punggung Resta yang menghilang di balik tembok. "Sekarang, giliran kita menebus kesalahan pada anak itu."
Xavier menghela napas pelan. "Aku tidak yakin itu berhasil."
"Tidak apa-apa. Setidaknya kita tahu bagaimana perjuangan anak itu yang mencoba menarik perhatian kita. Meski tidak langsung, perlahan-lahan aku yakin dia akan menerima kita lagi."
Xavier memandang Sean. Terlihat sorot ketulusan di mata kakaknya itu. Saat mendengar penuturan Sean di pertemuan keluarga tadi malam— tentunya tanpa Resta. Pemuda itu mengatakan semua perasaan yang selama ini dipendam.
Bagaimana tegasnya sosok Sean yang berusaha menyadarkan keluarganya tentang Resta.
***
Kemarin, pukul 10 malam. Di ruang keluarga.
"Ayah, maaf kalau aku baru berani mengatakan ini sekarang. Aku tahu semuanya terlambat. Tapi, lebih baik terlambat daripada tidak mengatakannya sama sekali."
Gabriel, Gaviel dan Xavier memandang Sean bingung.
"Apa yang hendak kau katakan?" tanya Gaviel.
"Mari berhenti menuruti apa ego kita selama ini." Sean menghela napasnya berat. "Aku tahu kita membenci anak itu dengan alasan tidak masuk akal— bahkan mengklaim nya sebagai pembunuh."
Gabriel mengernyit. "Bukankah sudah aku bilang jangan membahas ini?"
"Aku perlu membahasnya, kak," kata Sean tegas. "Ego kita membuat anak tidak bersalah menderita."
Deg.
"Sejak awal, Resta bukan pembunuh. Kita menjadikan anak itu sebagai pelampiasan atas kehilangan sosok yang berharga di keluarga ini." Sean memandang ayahnya dengan tatapan yakin. "Apa kalian ingat? Bagaimana tatapan polosnya menatap kita, tangan kecilnya yang mengarah pada kita, meminta untuk dipeluk."
YOU ARE READING
ERROR [END]
Teen FictionAda seorang gadis yang mengutuk pacarnya karena ketahuan selingkuh. Di hari tahun baru, disaat kembang api mengudara ke langit, suara gadis itu terdengar lantang mengatakan, "Aku bersumpah mengutuk dirimu menderita selama 25 kehidupan!" Pemuda itu h...
8 >> ERROR <<<
Start from the beginning
![ERROR [END]](https://img.wattpad.com/cover/376563052-64-k551442.jpg)