"Ini kehidupan terakhirku..." Resta menggigit bibir bawahnya. "Tidak akan ada kehidupan lagi setelah ini. Aku ... harus hidup sesuai kemauanku."
Resta membuka secara paksa infus di tangannya itu, hingga mengeluarkan darah. Tak memedulikan rasa pusing yang melanda kepalanya, Resta bangkit dari brankar rumah sakit. Berjalan tergopoh ke luar ruang inapnya.
Langkahnya terhenti saat melihat banyak orang berdiri di depan ruang rawat inap dirinya.
"Pasien Faresta?!" Dokter pria yang menyadari kehadiran Resta, membelalak kaget melihat darah yang menetes dari punggung tangan pemuda itu. "Kenapa Anda melepas infusnya?!"
Karena teriakan dokter itu membuat atensi orang-orang di sana langsung terpusat ke arah Resta. Gaviel Dewantara, Direktur Dewantara company mengernyitkan dahi melihat kehadiran Resta. Tatapannya beralih ke bawah, dimana darah yang menetes dari telapak tangan pemuda itu ke lantai keramik.
"... Apa begini caramu menarik perhatianku lagi?"
Deg.
Resta mengabaikan dokter di sampingnya yang berceloteh panik. Tatapannya terpaku pada satu pria dan tiga pemuda yang menatapnya dingin.
"Selalu berbuat masalah hanya demi melihat wajah kami, huh?" Pemuda yang terlihat lebih tua dari dua pemuda lainnya berujar dengan nada ketus. "Dasar kekanakkan."
"Kenapa masih hidup? Harusnya kau mati saja saat diculik oleh musuh perusahaan kami. Sedikit mengecewakan karena mereka hanya meninggalkan luka di tubuhmu," sahut pemuda lainnya.
Mereka Xavier, Gabriel dan Sean, batin Resta mengenali wajah mereka karena melihatnya dari ingatan pemilik tubuh asli.
Resta tahu bagaimana kebencian tiga pemuda itu padanya saat ini. Ucapan menyakitkan yang baru saja dilontarkan sudah menjadi bukti kebencian mereka padanya.
"Apa pantas kau berbicara seperti itu kepada orang yang sakit?" Resta menjawab dengan tenang.
Xavier mengernyit mendengar jawaban itu. "Lalu, bagaimana aku harus berbicara kepada orang sakit?" Pemuda itu mengambil beberapa langkah untuk mendekat, menunjuk dada Resta dengan jari telunjuknya. "Dan, kenapa juga aku harus peduli kalau kau sakit atau tidak?"
Resta menatap telunjuk itu, kemudian beralih menatap wajah Xavier dengan datar. "Oh."
Xavier tersentak, pemuda itu tersenyum remeh. "Hah, lihat anak ini. Apa kau tidak lelah bermain tarik ulur dengan—"
Ucapan Xavier terhenti saat tubuh Resta melewatinya begitu saja. Urat-urat yang membentuk persimpangan silang terlihat di pelipisnya. Sialan.
Resta menghentikan langkah di depan Gaviel. Pemuda itu bertatapan dengan netra kelam milik Gaviel. "Kenapa menyelamatkanku?"
Ingatan terakhir yang ia lihat adalah kejadian dimana Resta yang diculik dan disiksa di ruangan yang minum pencahayaan. Suara pukulan dan benda tajam yang mengusik indra pendengarannya. Di detik-detik keputus asaan Resta, polisi datang dengan kedatangan Gaviel serta anak buahnya di belakang.
Apa motif Gaviel tetap menyelamatkannya, padahal pria itu tidak menginginkan kehadiran Resta? Harusnya biarkan saja mati dengan jasad yang membusuk di ruang minum pencahayaan itu.
"Aku tidak ingin mengurus surat kematianmu." Jawaban dingin itu tak membuat ekspresi datar di wajah Resta goyah.
Pemuda itu hanya membulatkan bibirnya, lantas berbalik badan dan berjalan ke arah dokter Bima. "Apa aku sudah boleh pulang, dok?"
"Eh? Tapi ... bukankah lebih bagus Anda dirawat di sini lebih dulu?"
Resta mengulas senyum tipisnya. "Aku merindukan kasurku."
BẠN ĐANG ĐỌC
ERROR [END]
Teen FictionAda seorang gadis yang mengutuk pacarnya karena ketahuan selingkuh. Di hari tahun baru, disaat kembang api mengudara ke langit, suara gadis itu terdengar lantang mengatakan, "Aku bersumpah mengutuk dirimu menderita selama 25 kehidupan!" Pemuda itu h...
1 >> ERROR <<
Bắt đầu từ đầu
![ERROR [END]](https://img.wattpad.com/cover/376563052-64-k551442.jpg)