"HAIDARRR!!!" pekik Naura kesal dengan mata berkaca-kaca. Haidar panik bukan main, mendekap Naura dan mengusap kepalanya, mengucap seribu maaf.
"Wayolohhh, Haidarrr!"
"Anak orang ditangisin!"
"Aduin bapaknya Naura, ahhh!"
"Haidar, tanggung jawab!"
"Lo kata gue hamilin dia?! AAA SAKIT, NAU!" pekiknya kesakitan saat Naura mencubit kecil pinggangnya.
Setelah aksi perdebatan antara Naura dan Haidar selesai. Kini, anak IPA 1 disuruh lari keliling lapangan sebanyak tiga kali sebagai bentuk pemanasan di bawah teriknya sinar mentari.
Naura sudah ngomel-ngomel sepanjang langkah yang dia ambil, terus berkata lelah dan ingin cepat istirahat. Namun, saat melewati Pak Rama yang sedang duduk santai. Naura berubah semangat dan masih bisa-bisanya tersenyum centil, menggoda guru tampan itu.
"Ikan hiu makan ubi. I love you bertubi-tubiii!"
"Pak! Kopi apa yang bikin salting?"
"Apa, tuh?"
"Kopinang kau dengan bissmillah," jawabnya bernada. Anak-anak sudah tak heran lagi dengan kelakuannya. Namun, tetap saja tertawa melihat tingkah Naura yang pecicilan dan selalu bisa membuat mereka terhibur.
Intinya setiap kali Naura berlari melewati Pak Rama. Gadis itu akan melemparkan gombalan. Pak Rama sampai geleng-geleng kepala, tersenyum malu.
Akhirnya sesi berlari keliling lapangan sudah selesai. Mereka duduk di pinggir jalan sambil mengatur napas. Naura duduk di samping Lesya dengan tangan ke belakang menopang tubuh, ngos-ngosan yang dilebih-lebihkan—yang malah terdengar seperti suara babi.
"Mooo! Mooo!" Riana malah ikut-ikutan di saat Naura bersuara 'Ngok! Ngok! Ngok!'.
"Mbeee! Mbeee! Mbeee!" Haidar menyahut dari ujung dengan suara keras.
"U u a a! U u a a!" Kali ini Danny. Dan semua anak IPA 1 bersuara seperti binatang. Kecuali, Lesya yang tergelak melihat kerandoman teman-teman sekelasnya.
"Kayaknya nggak perlu ke Ragunan Bapak bisa denger suara hewan di sini walaupun wujudnya tetep manusia," ucap Pak Rama tersenyum tabah.
Hari ini materinya masih basket. Kalau minggu lalu mereka pengambilan nilai dari materi yang masih dasar, sekarang waktunya mereka tanding. Dua tim itu ditentukan oleh Pak Rama. Mereka tidak ada yang berkomentar.
"Lesya, Riana, Hujan, Gia dan Rena."
Nama-nama yang sudah disebut segera maju ke tengah lapangan. Dua tim tersebut berdiri berhadapan, Pak Rama berdiri di bagian tengah memegang bola basket. Bola dilambungkan dan pluit ditiup.
Lesya dan Shalu melompat merebutkan bola. Permainan mulai berlangsung seru dimana anak laki bersorak menyemangati, kadang meledek dan menghujat.
Di tempat lain, tepatnya kelas XI IPA 4 tidak ada guru yang mengajar alias jam kosong. Namun, mereka tetap diberi tugas mencatat materi yang diberikan. Sayangnya hanya siswa yang pintar dan ingin mendapat ilmu yang mencatat materi di papan tulis tersebut.
"Ini penghapus lo aslinya warna item atau putih sih, Gar? Putih tapi ada itemnya, item tapi ada putihnya. Kelap kelip kayak warna pantat lu kalo lagi boong."
"Item!" seru Garry kesal ditanya seperti itu.
"Buset dah biasa aja nanyanya, gue cuman ngejawab," kata Daniel sewot.
"Kebalik tolol! Mau minjem atau mau ngehina pupus gue sih lu?!"
"Dua-duanya," jawab Daniel santai. Mulai menghapus bagian gambarnya yang salah coret. Seketika dia baru menyadari sesuatu, menatap Garry aneh. "Pupus? Pupus apaan dah?"
Garry menunjuk penghapus miliknya yang berwarna putih gradasi hitam dengan bolpoinnya. "Itu, penghapus gue."
"Set, dah! Kayak nama kucing."
"Suka-suka gue."
"Kalah mulu! Lo bisa ngalah aja nggak sih, Bas, sama gue?" seru Xavier dongkol. Hidungnya kembang-kempis.
Di luar kelas, anak-anak Aregas memberi label Xavier itu cool boy karena jarang bicara dan bertingkah nyeleneh seperti Garry dan Daniel. Namun, anak-anak kelas IPA 4 menyangkal itu semua karena mereka tau betul Xavier seperti apa.
Seperti saat ini, dia marah bak anak kecil hanya karena kalah main Magic Chess melawan Bastian.
"Enggak," balas Bastian santai.
"Ya udah, gue berhenti maen! Males kalah mulu! Enggak ada yang mau ngalah sama orang ganteng keteknya bisulan! Enggak usah ada yang bujuk gue!"
Daniel dan Garry saling lempar pandang seakan bertanya lewat telepati.
'Xavier kenapa dah, Gar?'
'Enggak tau. Kayaknya nggak dikasih uang jajan sama mamanya.'
"Mampus! Lo tadi jajan paling banyak!'
Setelahnya Garry memasang wajah melas. Takut kalau Xavier menagih uangnya yang selama ini Garry jajanin.
Angin segar menyapa wajah Xavier kala tubuh cowok itu berada di luar kelas. Berjalan mendekati balkon, seakan sedang menikmati pemandangan.
"Panas, tapi anginnya seger," katanya menikmati angin yang masuk ke sela-sela seragamnya, menyegarkan bagian-bagian yang berkeringat.
Xavier mengeluarkan ponsel dari dalam saku. Membuka roomchat antara dirinya dengan Lesya.
Xavier : Sepi banget wa gue nggak ada yang chat.
Bohong. Kenyataannya ada puluhan chat masuk ke nomernya yang minta di save back atau bertanya ini itu. Hanya saja Xavier memang sedang caper dengan Lesya karena belum melihat wajah gadis itu hari ini.
Mau bilang kangen, tapi gengsi. Mau bilang suka apa lagi. Masa Xavier yang harus bilang suka duluan. Biasanya 'kan cewek-cewek yang nyatain cinta padanya, bahkan ada yang punya nyali gede nembak dia.
"Sombong amat nggak dibales!" gerutunya kesal. Ini dia sudah nurunin harga diri dan egonya buat ngechat duluan, tapi belum dibales sama Lesya. Padahal belum ada satu menit.
Berdecak kesal sambil melempar pandangannya ke arah depan. Xavier melihat sekumpulan siswa yang sedang olahraga. Dia baru ingat kalau hari ini dan di jam segini kelas Lesya sedang jam olahraga.
Xavier jadi menopang dagu, memerhatikan Lesya yang sedang bermain dengan luwesnya. Gadis itu tampak sangat cantik saat tidak memakai kacamata. Senyum lebar dan cerianya mengubah mood jeleknya. Anak-anak kelas sampai bergidik ngeri melihat Xavier senyam-senyum seperti orang gila.
"BASTIAN! Obat temen lo udah abis?!" teriak Hera pada Bastian yang sedang guling-gulingan di atas meja.
"Gue bukan maknya. Jadi, jangan tanya sama gue!" balas Bastian.
"Ih! Tapi, itu kasian takutnya kesambet!"
"Dibilang—"
"AWASSS!!!"
"KAN!" pekik Hera saat mendengar suara Xavier dari luar kelas. Saat melihat ke luar jendela, tubuh teman sekelasnya itu sudah ngibrit menuruni anak tangga. Sampai lupa kalau Aregas punya lift.
YOU ARE READING
Dangerous Nerd
Fantasy#AREGAS SERIES 2 Lesya yang merupakan seoarang cold girl yang memiliki mata setajam elang dan disegani anak buah Papanya berubah menjadi gadis cupu yang masuk ke dalam sekolah swasta elite dan terkenal di Ibukota untuk mencari tau alasan meninggalny...
•| Chapter 24 |•
Start from the beginning
