•| Chapter 22 |•

Start from the beginning
                                        

Haidar misuh-misuh, mengumpati Danny dengan wajah sebal.

Sementara, Naura mulai menaruh semua perhatiannya pada Riana yang melamun sambil minum susu.

"Lo belum sempet sarapan, Na?" tanya Naura.

Riana menggelengkan kepalanya pelan.

Naura menggenggam tangan Riana yang berada di atas meja, menatap sahabatnya lembut dan penuh pengertian. "Bokap lo ngelakuin apa lagi, Na?"

Riana menjawab dengan satu tetes air mata yang jatuh ke pipi, lama-lama semakin banyak air mata yang keluar menghasilkan sebuah tangisa. Tak bisa menahan rasa sesak dan sakitnya, Riana menangis sesenggukan. Naura segera menarik tubuh sahabatnya ke dalam pelukan, menenangkannya. Mengusap punggungnya.

Danny dan Haidar yang tadi sedang ribut, mendebatkan suatu hal yang tidak penting. Kini, saling sikut. Menyuruh satu sama lain untuk bertanya apa yang tengah terjadi dengan mulut yang maju seperti moncong burung.

Lesya sendiri menatap Riana yang masih sesenggukan di dalam dekapan Naura. Tangisannya dia tahan agar tidak mengundang perhatian teman sekelas, tapi malah terdengar menyakitkan.

Lesya beradu pandang dengan Naura yang tersenyum tipis ke arahnya, masih sambil mengusap punggung Riana.

•••

Xavier mengernyit bingung, melihat seorang cowok yang baru saja beradu pandang dengan seorang gadis yang di kenalnya, tapi tak saling menyapa.

"Kok, lo nggak nyapa dia?"

Dylan terkejut setengah mati mendengar suara dari arah belakangnya yang terdengar begitu dekat. Lebih terkejut lagi saat tau siapa yang tengah mengajaknya ngobrol.

"Xavier?!"

Xavier berdecak kesal. "Biasa aja kali ngeliatin guenya. Demen lo sama gue?"

Dylan berdeham, menormalkan ekspresi wajahnya yang terlalu berlebihan diajakin ngobrol sama Xavier. "Sorry. Gue agak shoked aja diajak ngobrol sama lo."

"Lo pikir gue Presiden? Gubernur? Sampe segitunya amat!"

"Ya ... lo 'kan biasanya cuman ngobrol sama temen-temen lo doang. Manusia sampah kayak gue gini 'kan wajar merasa kayak 'Wahhh ... gue diajak ngobrol sama Xavierrr!' gitu," jelas Dylan.

"Bodo amat, anjis," balas Xavier.

"Tadi, lo nanya apa?" tanya Dylan. "Sampe lupa."

"Quinnsha. Sepupu lo, kan?" Alis Xavier naik satu melihat Dylan tiba-tiba gelagapan. Mulutnya buka tutup seperti ikan yang membutuhkan air.

"Em, eng, em, eng ... kata siapa, ya? Gue nggak pernah punya sodara cewek, kok," balas Dylan gugup.

Xavier memutar bola matanya malas. "Apa sih, anjir?! Emang lo pikir gue nggak tau?"

Dylan melebarkan mulutnya kaget. Menatap Xavier tak percaya. "Lo tau? Quinnsha ngasih tau siapa dia ke lo? Kok bisa? Lo siapanya? Masih jomblo 'kan lo?"

Xavier mendorong wajah Dylan dengan telapak tangannya kesal agar menjauh darinya. Dia alergi sama orang yang cerewet. Contoh saja Dylan.

"Nasi goreng sosis baso satu ya, Bang," pesan Xavier pada abang penjual. Sengaja menyelak Dylan karena Dylan banyak omong.

"Pedes nggak, Xav?"

"Pedes," jawab Xavier. "Sama es cokelatnya satu ya, Bang!"

"Oke!"

Xavier berlalu dari sana. Meninggalkan Dylan begitu saja. Tanpa Dylan jelaskan dan hanya melihat sikapnya saja, Xavier tau apa terjadi di antara mereka berdua.

Dangerous NerdWhere stories live. Discover now