•| Chapter 12 |•

Start from the beginning
                                        

"Gue minta maaf," ucap Haidar lirih membuat semua pasang mata yang ada di sana menatap ke arahnya. "Gue nggak becus mainnya. Gue minta maaf."

Damar menepuk bahu Haidar sambil tersenyum. "Santai aja elah, Dar. Cuman pertandingan biasa buat ngeramein acara ulang tahun sekolah. Wajar juga ada menang sama kalah."

"Gue tetep ngerasa bersalah," balas Haidar, tidak berani menatap wajah teman-temannya. "Bener kata Opik, gue nggak bisa main dan terlalu sok."

Setelahnya Haidar beranjak berdiri. Berjalan keluar kelas dengan langkah lesu. Naura hendak mengejar. Namun, segera ditahan Lesya.

"Haidar butuh waktu."

Naura menatap cemas Haidar. "Tapi, gue nggak tega biarin dia pergi sendirian."

"Nanti Haidar juga balik lagi kok, Ra. Tenang aja. Lagian dia harus liat dan nyemangatin basket putri kelas kita," ucap Danny membuat Naura mengurungkan niatnya dan duduk kembali.

Damar menatap Lesya. "Gue nggak maksa lo buat menang. Cukup main dengan baik itu udah buat gue bangga. Lo nggak perlu terlalu maksain diri buat dapetin juara satu," ucapnya pengertian.

Lesya tertegun. Perkataan Damar sangat menyentuh hatinya. Tidak pernah ada yang berkata seperti itu. Bangga dengan apa yang akan atau sudah dia lakukan.

Jujur Lesya terharu. Ingin menangis merasakan kepedulian Damar dan teman-temannya. Mereka sudah seperti keluarga yang saling menyemangati dan mengerti satu sama lain.

"Iya, Dam."

•••

"Eh, sumpah! Kita belum dapet ide buat bazar nanti!" seru Hera di meja guru menatap teman-teman sekelasnya yang sibuk sendiri.

"Guys, ayo dong bantu mikir!" seru gadis itu frustasi. Kesal sendiri hanya dia yang kebingungan mencari ide untuk jualan nanti, teman-temannya tidak ada yang membantu membuat Hera ingin menangis saja rasanya.

"Ish! Kalian tuh, ya! Jangan sibuk sendiri, dong! Gue harus ngumpulin ke anak OSIS kelas kita mau jualan apaan!"

Lagi dan lagi suara Hera tidak didengar teman sekelasnya. Hera menarik napasnya panjang, memandang mereka dengan mata berkaca-kaca.

"Terserahlah." Hera putus asa, berjalan keluar dari kelas. Sakit hati tidak ada yang peduli dengannya. Ucapannya jarang didengar. Mereka menumbalkan Hera untuk menjadi ketua kelas karena tidak ada yang mau menjabat sebagai orang yang mengurus masalah anak-anak kelas.

Bastian yang sejak tadi bermain game di ponsel, menatap kepergian Hera yang berjalan keluar kelas. Cowok itu menghela napas, beranjak berdiri seraya memasukan ponselnya ke dalam saku celana.

Dia berdiri di samping meja guru. Sekali dia pukul meja, semua perhatian teman-teman sekelasnya beralih menatapnya dengan tatapan yang sama semua. Kaget.

"Gue mau ngomong, semuanya harus dengerin," Bastian berujar tegas.

Xavier menaikan satu alisnya, menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Melipat tangan di depan dada memandangi temannya yang berdiri gagah di depan.

"Voting buat bazar nanti kita jualan apa." Bastian menuliskan menu-menu makanan di papan tulis. Ada nasi bakar, aksesoris, minuman dingin berbagai macam rasa dan sop buah. "Pilih. Yang mau nasi bakar angkat tangan."

Hanya ada lima orang yang memilih nasi bakar. Salah satunya adalah Daniel.

"Kok nggak ada yang mau nasi bakar, sih? Padahal 'kan enak. Lo laper abis teriak-teriak manggil pelanggan bisa langsung makan nasinya," gerutu cowok itu kesal.

"Ini buat dijual, bukan asal makan aja," ucap Xavier membuat Daniel menutup mulutnya rapat.

"Tau, lo. Makan mulu pikirannya," timpal Garry membuat Daniel.

Dangerous NerdWhere stories live. Discover now